PERDA TARIF PARKIR TAK MAKSIMAL,
JUKIR TETAP NAKAL
Analisis ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian
Akhir Semester (UAS) Sosiologi Hukum
Dosen
Pengampu: Miftahus Sholehudin, M.Hi
Disusun oleh:
Yuni Nasrul Latifi (14220019)
JURUSAN
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
Latar Belakang
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat
memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam masyarakat.[1] Hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat yang
pada umumnya mengatur bagaimana berhubungan satu dengan yang lainnya, apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.[2]
Tujuan
hukum adalah untuk membentuk masyarakat yang tertib dan teratur untuk akhirnya
mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan hukum tersebut,
tentunya memiliki beberapa kendala. Kendala yang muncul tidak hanya dari aspek
pengimplementasian dan efektivitasnya di masyarakat namun terkadang kendala
tersebut muncul daripada proses pembuatan dan perumusan hukum tersebut.
Secara
normative, para ahli hukum memandang bahwa hukum diperlukan oleh manusia selaku
pribadi karena untuk menjamin hak-hak pribadi seseorang seperti hak hidup,
melindungi kesewenang-wenangan pihak yang kuat dan menjamin kesamaan atau
kesederajatan bersama manusia lainnya.[3] Adapun untuk menjamin
hak-hak pribadi sesorang tersebut tentunya diperlukan petugas penegak hukum
yang tegas, jujur, adil, dan bertanggungjawab. Keberadaan petugas penegak hukum
yang seperti itu diperlukan untuk meningkatkan kesadaran hukum di dalam
masyarakat. Bukan hanya masyarakat yang memerlukan pengawasan dalam
meningkatkan kesadaran hukum tetapi petugas penegak hukum juga memerlukan
kontrol dan pengawasan dalam menjalankan tugasnya.
Secara
sosiologis, kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia,
tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau
sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum,
pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan. Miftahus Sholehuddin[4] mengutip pandangan dari
Indang Sulastri yang memaparkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap hukum dari
setiap warga masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu : (1) compliance; (2) identification;
dan (3) legal conscience. Compliance mengutip pandangan dari Indang Sulastri yang memaparkan bahwa
tingkat kepatuhan terhadap hukum dari setiap warga masyarakat dapat
dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu : (1) compliance; (2) identification; dan (3) legal
conscience. Compliance Tahap kesadaran yang bersifat Identification
(patuh karena takut teralienasi oleh lingkungan sosial) adalah tingkat
kepatuhan terhadap hukum karena mengidentikkan perilaku yang bersangkutan
dengan perilaku lingkungan, jadi sudah ada peranan lingkungan sosial yang mendorong
untuk melakukan atau mentaati hukum. Legal conscience (patuh karena
dorongan dari dalam dirinya) adalah tingkat kepatuhan hukum yang normanya sudah
tersosialisasi dan terinternalisasi dalam diri seseorang. Jadi hati nuraninya
yang berperan, yaitu terwujud di dalam sikap dan perilaku, sehingga pada
tingkat ini kesadaran hukum sudah berjalan.[5]
Pada
tataran praktis di Kota Malang, di beberapa tempat parkir banyak sekali beredar
karcis parkir yang telah dimanipulasi. Fenomena ini akan semakin meningkat dan
parah ketika ada even-even besar di Kota Malang. Mereka (petugas parkir) dengan
seenaknya mengganti harga parkir dengan harga yang lebih mahal dari apa yang
dicantumkan di karcis parkir tersebut. Berdasarkan pada realitas diatas,
penelitian sederhana ini hendak menelisik lebih jauh tentang analisis sosiologis
kesadaran dan kepatuhan hukum di Kota Malang terhadap beredarnya pemalsuan
karcis parkir.
Metode
Pengumpulan Data
Dalam
proses pengumpulan data, penulis menggunakan dua model pencarian data yang sering
digunakan dalam penelitian yakni observasi, dokumentasi, dan wawancara.
Dokumentasi dilakukan di beberapa tempat yang melakukan praktek tersebut.
Sedangkan observasi digunakan untuk melihat fakta hukum dan fakta sosial
praktek pemanipulasian karcis parkir tanpa ijin tersebut. Wawancara dilakukan
kepada masyarakat yang melakukan praktek pelanggaran.
Fakta Sosial
Pemberlakuan Hukum
Secara
sederhana karcis atau tiket parkir adalah surat panggilan hukum yang dikeluarkan untuk parkir di tempat
yang terbatas sebagai tanda bahwa pengguna
jasa parkir, sudah membayar retribusi pada negara yang nantinya akan masuk ke
dinas pendapatan daerah. Berdasarkan tujuan dari tiket parkir tersebut, maka di
beberapa daerah pasti terdapat aturan yang mengatur tentang berbagai ketentuan
penggunaan tiket parkir pada tingkat kota maupun kabupaten.Sesuai dengan
Peraturan Daerah Kota Malang nomor 02 tahun 2011 bab VI Pasal 30 ayat 2 tentang
struktur dan besarnya tarif parkir bahwa setiap kendaraan berjenis sepeda motor
tarif parkirnya sebesar Rp. 1.000,00.
Namun realitas yang terjadi di Kota
Malang masih banyak terjadi pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap aturan yang
ada di wilayah pemerintahan kota. Masih banyak terjadi pelanggaran baik dalam
pemasangan tarif parkir maupun penggantian tarif parkir yang tidak semestinya.
Sebagaimana terlihat dalam gambar berikut, terdapat contoh tiket parkir yang
tarif parkirnya telah dimanipulasi.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Malang nomor 02 tahun 2011 bab VI Pasal 30 ayat 2 tentang struktur dan besarnya tarif
parkir bahwa:
Struktur dan besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditetapkan sebagai
berikut :
a. Truk, Bus,
minibus dan sejenisnya sebesar Rp. 4.000,00;
b. Mobil
sedan, Jeep, Pick Up dan sejenisnya sebesar Rp. 2.000,00;
c. Sepeda
Motor sebesar Rp. 1.000,00.
Ayat diatas
secara tegas menjelaskan bahwa tarif untuk sepeda motor sebesar Rp. 1.000,00. Pemasangan
tarif parkir dari gambar diatas jika dilihat menggunakan kacamata hukum jelas
merupakan sebuah pelanggaran hukum dan tidak boleh terjadi karena Penetapan tarif parkir merupakan salah satu
perangkat yang digunakan sebagai alat dalam kebijakan manajemen
lalu lintas di
suatu kawasan/kota untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi menuju ke suatu kawasan tertentu yang
perlu dikendalikan lalu lintasnya dan merupakan salah satu pendapatan asli daerah
yang penting.[6]
Kontekstualisasi
Aturan Hukum
Penerapan
atau implementasi hukum jika dilihat secara toeritisasi analitis merupakan
sebuah variable tergantung yang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam setting
lingkungan social dimana individu sebagai subjek hukum tinggal. Secara
sistematis Soerjono Soekanto mengemukakan empat indikator kesadaran
hukum, yaitu:
1.
Pengetahuan hukum, diartikan sebagai kesan di dalam pikiran
seseorang mengenai hukum-hukum tertentu. Makin tinggi kepekaan dan intelegensi
kemampuan masyarakat maka akan tinggi kesadaran hukum.
2.
Pemahaman tentang hukum, makin tinggi pemahaman masyarakat
terhadap hukum, maka makin kritis masyarakat dalam melihat aturan hukum yang
mengatur masyarakat.
3.
Sikap masyarakat terhadap
hukum. Apabila masyarakat memandang hukum sesuai dengan nilai-nilai sosial dan
keyakinan masyarakat maka sikap masyarakat akan taat pada aturan yang
diyakininya tersebut.
Melihat empat indikator kesadaran hukum tersebut
diatas, maka dapat ditarik benang merah ketika seseorang atau suatu kelompok
menaati hukum, maka alasan atau dorongan terhadap realitas hukum tersebut
memiliki ragam dan varian motivasi berbeda. Bahkan, menurut penulis masih
banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan orang menaati hukum seperti dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan
pihak lain.
Melihat
fenomena pelanggaran yang terjadi di wilayah Kota Malang terkait pemanipulasian
tiket parkir, maka terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya
pelanggaran tersebut. Seperti misalnya teori yang dipaparkan oleh Lawrence Meir Friedman yang menyatakan bahwa efektif dan berhasil
tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur
hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law)
dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat
penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya
hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
masyarakat.[8]
Dengan
meminjam teori yang digunakan oleh Lawrence Meir
Friedman diatas, pelanggaran yang terjadi adalah sebuah pelanggaran budaya
hukum (legal culture). Proses pelanggaran yang terjadi karena budaya
hukum yang telah menjadi kebiasaan masyarakat untuk tidak mengindahkan apa yang
telah diatur secara jelas di Peraturan Daerah Kota Malang nomor 02 tahun 2011 bab VI Pasal 30 ayat 2 tentang struktur dan besarnya tarif
parkir seperti yang diapaparkan oleh Suyono salah satu narasumber wawancara
yang bekerja sebagai Juru Parkir. Dalam wawancara tersebut narasumber
mengatakan ‘aku gak tau diprotes masyarakat, terus yo gak enek dinas sing
mantau mbak’[9](saya
nggak pernah diprotes masyarakat, juga tidak ada dinas yang mengawasi
mbak:pen).
Meskipun
secara tertulis, peraturan mengenai struktur dan besarnya tarif parkir
dipandang sudah baik, namun problem yang terjadi adalah proses implementasi
peraturan tersebut di masyarakat. Dalam teori implementasi kebijakan menurut Donald
S.Van Meter dan Carl E. Van Horn mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja
implementasi, yakni;
a.
Standar
dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan
terukur sehingga dapat direalisir.apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,
b.
Sumberdaya,
dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya non manusia.
c.
Hubungan
antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor sebuah program perlu dukungan
dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja
sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
d.
Karakteristik
agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola
hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi suatu program.
e.
Kondisi
sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi
lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh
mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak,
bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik
mendukung implementasi kebijakan.
f.
Disposisi
implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor
terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan
kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi
implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.[10]
Dengan
mengaca sedikit pada hasil observasi dan wawancara yang sudah dilakukan,
penerapan atau implementasi peraturan daerah tentang besarnya tarif parkir terdapat titik
lemah pada beberapa aspek ketika diukur dengan menggunakan teori Donald
S.Van Meter dan Carl E. Van Horn diatas.
Setidaknya proses hubungan antar organisasi masih kurang efektif, hal ini dapat
dilihat pada pemberian wewenang penyidikan yang diamanatkan oleh Perda nomor 02
Tahun 2011 pasal 53 ayat 3, bahwa penyidik memiliki wewenang:
a.
Menerima,
mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas;
b.
Meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi;
c.
Meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang Retribusi;
d.
Memeriksa
buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
Retribusi;
e.
Melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.
Meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang Retribusi;
g.
Menyuruh
berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h.
Memotret
seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi;
i.
Memanggil
orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.
Menghentikan
penyidikan; dan/atau
k.
Melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[11]
Disposisi
yang diberikan Perda tersebut sudah sangat jelas diberikan kepada Penyidik
(Dishub), namun pada tataran implementasinya di lapangan penertiban yang
dilakukan oleh Dishub masih sangat minim dilakukan dan cenderung dibiarkan.
Pembiaran ini mungkin terjadi karena ketidaktahuan mereka (Dishub) mengenai
pemanipulasian tiket parkir, sikap cuek mereka (Dishub) terhadap hal yang
dikira sepele, atau mungkin juga karena mereka (Dishub) sudah lelah menangani
jukir-jukir nakal yang kembali melakukan pelanggaran setelah ada penyidikan.
Secara
sosiologis berdasarkan observasi dan dokumentasi yang penulis lakukan, terdapat
kecenderungan dan pandangan masyarakat bahwa Dinas Perhubungan hanya akan
melaksanakan tugas dengan benar ketika ada program penertiban dan atau ketika
ada pejabat yang lebih tinggi.
Problem
hubungan antar organisasi mungkin juga menjadi salah satu indikasi tidak
maksimalnya Perda Kota Malang tentang struktur dan besarnya tarif parkir. Sebagaimana pasal-pasal
dalam Perda tersebut belum tercantum dengan jelas siapa yang dimaksud dengan penyidik
tersebut. Sehingga tidak ada keharusan bagi Dishub untuk melakukan pengawasan
dan penyidikan mengenai pemanipulasian tiket parkir tersebut.
Simpulan dan
Saran
Dari
paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyaknya pelanggaran yang terjadi
di Kota Malang berkaitan dengan Pemanipulasian tiket parkir adalah
dilatarbelakangi beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Sosiologis
a)
Kurangnya
Controlling dalam pemberlakuan tiket parkir.
b)
Banyak
praktek masyarakat yang melakukan pelanggaran sehingga menjadi contoh bagi
masyarakat yang lain.
2.
Normative
a)
Penegak
hukum cenderung menunggu program penertiban dan atau ketika ada pejabat yang
lebih tinggi untuk melakukan penertiban.
b)
Tidak
terdapat peraturan yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan penyidik.
Realitas
hukum yang terjadi sebagaimana penulis sampaikan diatas merupakan sebuah
cerminan bahwa dalam melaksanakan dan menegakkan sebuah aturan hukum,
diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum, meliputi:
1.
Pengetahuan
hukum
Pengetahuan
hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan
mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh
masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu
sudah mempunyai pengetahuan hukum yang benar.
2.
Pemahaman
hukum
Pemahaman hukum
masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai
pemahaman hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dimaksud oleh masyarakat itu
dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu mempunyai
pemahaman hukum yang benar.
3.
Penataan
hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab:
a.
Takut
karena sanksi negative, apabila hukum dilanggar
b.
Untuk
menjaga hubungan baik dengan penguasa
c.
Untuk
menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
d.
Karena
hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
e.
Kepentingannya
terjamin.
4.
Peningkatan
kesadaran hukum
Peningkatan
kesadaran hukum seyogianya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum
yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan
agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu. Penerangan
dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada
dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.[12]
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008)
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004)
Najih, Mokhammad, Pengantar Hukum
Indonesia, (Malang: Setara PRESS, 2012)
Soekanto, Soerjono, Kesadaran
Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982)
Soeroso, Pengantar Ilmu hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2014)
[2]
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia,
2004), h.22
[3]
Mokhammad Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara PRESS,
2012), h. 3
[7]
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 1982), h. 140.
[9]
Wawancara di laksanakan pada 06 Desember 2015
[12]
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 66-69.