Senin, 07 Desember 2015

PERDA TARIF PARKIR TAK MAKSIMAL, JUKIR TETAP NAKAL

PERDA TARIF PARKIR TAK MAKSIMAL,

 JUKIR TETAP NAKAL

 Analisis ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Sosiologi Hukum
Dosen Pengampu: Miftahus Sholehudin, M.Hi


                                                                             
Disusun oleh:
Yuni Nasrul Latifi (14220019)





JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015




Latar Belakang
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam masyarakat.[1] Hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat yang pada umumnya mengatur bagaimana berhubungan satu dengan yang lainnya, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.[2]

Tujuan hukum adalah untuk membentuk masyarakat yang tertib dan teratur untuk akhirnya mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan hukum tersebut, tentunya memiliki beberapa kendala. Kendala yang muncul tidak hanya dari aspek pengimplementasian dan efektivitasnya di masyarakat namun terkadang kendala tersebut muncul daripada proses pembuatan dan perumusan hukum tersebut.

Secara normative, para ahli hukum memandang bahwa hukum diperlukan oleh manusia selaku pribadi karena untuk menjamin hak-hak pribadi seseorang seperti hak hidup, melindungi kesewenang-wenangan pihak yang kuat dan menjamin kesamaan atau kesederajatan bersama manusia lainnya.[3] Adapun untuk menjamin hak-hak pribadi sesorang tersebut tentunya diperlukan petugas penegak hukum yang tegas, jujur, adil, dan bertanggungjawab. Keberadaan petugas penegak hukum yang seperti itu diperlukan untuk meningkatkan kesadaran hukum di dalam masyarakat. Bukan hanya masyarakat yang memerlukan pengawasan dalam meningkatkan kesadaran hukum tetapi petugas penegak hukum juga memerlukan kontrol dan pengawasan dalam menjalankan tugasnya.

Secara sosiologis, kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan. Miftahus Sholehuddin[4] mengutip pandangan dari Indang Sulastri yang memaparkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap hukum dari setiap warga masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu : (1) compliance; (2) identification; dan (3) legal conscience. Compliance mengutip pandangan dari Indang Sulastri yang memaparkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap hukum dari setiap warga masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu : (1) compliance; (2) identification; dan (3) legal conscience. Compliance Tahap kesadaran yang bersifat Identification (patuh karena takut teralienasi oleh lingkungan sosial) adalah tingkat kepatuhan terhadap hukum karena mengidentikkan perilaku yang bersangkutan dengan perilaku lingkungan, jadi sudah ada peranan lingkungan sosial yang mendorong untuk melakukan atau mentaati hukum. Legal conscience (patuh karena dorongan dari dalam dirinya) adalah tingkat kepatuhan hukum yang normanya sudah tersosialisasi dan terinternalisasi dalam diri seseorang. Jadi hati nuraninya yang berperan, yaitu terwujud di dalam sikap dan perilaku, sehingga pada tingkat ini kesadaran hukum sudah berjalan.[5]

Pada tataran praktis di Kota Malang, di beberapa tempat parkir banyak sekali beredar karcis parkir yang telah dimanipulasi. Fenomena ini akan semakin meningkat dan parah ketika ada even-even besar di Kota Malang. Mereka (petugas parkir) dengan seenaknya mengganti harga parkir dengan harga yang lebih mahal dari apa yang dicantumkan di karcis parkir tersebut. Berdasarkan pada realitas diatas, penelitian sederhana ini hendak menelisik lebih jauh tentang analisis sosiologis kesadaran dan kepatuhan hukum di Kota Malang terhadap beredarnya pemalsuan karcis parkir.

Metode Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan dua model pencarian data yang sering digunakan dalam penelitian yakni observasi, dokumentasi, dan wawancara. Dokumentasi dilakukan di beberapa tempat yang melakukan praktek tersebut. Sedangkan observasi digunakan untuk melihat fakta hukum dan fakta sosial praktek pemanipulasian karcis parkir tanpa ijin tersebut. Wawancara dilakukan kepada masyarakat yang melakukan praktek pelanggaran.

Fakta Sosial Pemberlakuan Hukum
Secara sederhana karcis atau tiket parkir adalah surat panggilan hukum yang dikeluarkan untuk parkir di tempat yang terbatas sebagai tanda bahwa pengguna jasa parkir, sudah membayar retribusi pada negara yang nantinya akan masuk ke dinas pendapatan daerah. Berdasarkan tujuan dari tiket parkir tersebut, maka di beberapa daerah pasti terdapat aturan yang mengatur tentang berbagai ketentuan penggunaan tiket parkir pada tingkat kota maupun kabupaten.Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Malang nomor 02 tahun 2011 bab VI Pasal 30 ayat 2 tentang struktur dan besarnya tarif parkir bahwa setiap kendaraan berjenis sepeda motor tarif parkirnya sebesar Rp. 1.000,00.


Namun realitas yang terjadi di Kota Malang masih banyak terjadi pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap aturan yang ada di wilayah pemerintahan kota. Masih banyak terjadi pelanggaran baik dalam pemasangan tarif parkir maupun penggantian tarif parkir yang tidak semestinya. Sebagaimana terlihat dalam gambar berikut, terdapat contoh tiket parkir yang tarif parkirnya telah dimanipulasi.



Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Malang nomor 02 tahun 2011 bab VI Pasal 30 ayat 2 tentang struktur dan besarnya tarif parkir bahwa:
Struktur dan besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai
berikut :
a.    Truk, Bus, minibus dan sejenisnya sebesar Rp. 4.000,00;
b.    Mobil sedan, Jeep, Pick Up dan sejenisnya sebesar Rp. 2.000,00;
c.    Sepeda Motor sebesar Rp. 1.000,00.

Ayat diatas secara tegas menjelaskan bahwa tarif untuk sepeda motor sebesar Rp. 1.000,00. Pemasangan tarif parkir dari gambar diatas jika dilihat menggunakan kacamata hukum jelas merupakan sebuah pelanggaran hukum dan tidak boleh terjadi karena Penetapan tarif parkir merupakan salah satu perangkat yang digunakan sebagai alat dalam kebijakan manajemen lalu lintas di suatu kawasan/kota untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi menuju ke suatu kawasan tertentu yang perlu dikendalikan lalu lintasnya dan merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang penting.[6]

Kontekstualisasi Aturan Hukum
Penerapan atau implementasi hukum jika dilihat secara toeritisasi analitis merupakan sebuah variable tergantung yang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam setting lingkungan social dimana individu sebagai subjek hukum tinggal. Secara sistematis Soerjono Soekanto mengemukakan empat indikator kesadaran hukum, yaitu:
1.    Pengetahuan hukum, diartikan sebagai kesan di dalam pikiran seseorang mengenai hukum-hukum tertentu. Makin tinggi kepekaan dan intelegensi kemampuan masyarakat maka akan tinggi kesadaran hukum.
2.    Pemahaman tentang hukum, makin tinggi pemahaman masyarakat terhadap hukum, maka makin kritis masyarakat dalam melihat aturan hukum yang mengatur masyarakat.
3.    Sikap masyarakat  terhadap hukum. Apabila masyarakat memandang hukum sesuai dengan nilai-nilai sosial dan keyakinan masyarakat maka sikap masyarakat akan taat pada aturan yang diyakininya tersebut.
4.    Perilaku hukum. Kesadaran hukum akan mempengaruhi perilaku hukum masyarakat.[7]

Melihat empat indikator kesadaran hukum tersebut diatas, maka dapat ditarik benang merah ketika seseorang atau suatu kelompok menaati hukum, maka alasan atau dorongan terhadap realitas hukum tersebut memiliki ragam dan varian motivasi berbeda. Bahkan, menurut penulis masih banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan orang menaati hukum seperti dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.

Melihat fenomena pelanggaran yang terjadi di wilayah Kota Malang terkait pemanipulasian tiket parkir, maka terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya pelanggaran tersebut. Seperti misalnya teori yang dipaparkan oleh  Lawrence Meir Friedman yang menyatakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.[8]

Dengan meminjam teori yang digunakan oleh Lawrence Meir Friedman diatas, pelanggaran yang terjadi adalah sebuah pelanggaran budaya hukum (legal culture). Proses pelanggaran yang terjadi karena budaya hukum yang telah menjadi kebiasaan masyarakat untuk tidak mengindahkan apa yang telah diatur secara jelas di Peraturan Daerah Kota Malang nomor 02 tahun 2011 bab VI Pasal 30 ayat 2 tentang struktur dan besarnya tarif parkir seperti yang diapaparkan oleh Suyono salah satu narasumber wawancara yang bekerja sebagai Juru Parkir. Dalam wawancara tersebut narasumber mengatakan ‘aku gak tau diprotes masyarakat, terus yo gak enek dinas sing mantau mbak’[9](saya nggak pernah diprotes masyarakat, juga tidak ada dinas yang mengawasi mbak:pen).

Meskipun secara tertulis, peraturan mengenai struktur dan besarnya tarif parkir dipandang sudah baik, namun problem yang terjadi adalah proses implementasi peraturan tersebut di masyarakat. Dalam teori implementasi kebijakan menurut Donald S.Van Meter dan Carl E. Van Horn mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;
a.    Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,
b.    Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
c.    Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
d.   Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
e.    Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
f.     Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.[10]
Dengan mengaca sedikit pada hasil observasi dan wawancara yang sudah dilakukan, penerapan atau implementasi peraturan daerah tentang besarnya tarif parkir terdapat titik lemah pada beberapa aspek ketika diukur dengan menggunakan teori Donald S.Van Meter dan Carl E. Van Horn diatas. Setidaknya proses hubungan antar organisasi masih kurang efektif, hal ini dapat dilihat pada pemberian wewenang penyidikan yang diamanatkan oleh Perda nomor 02 Tahun 2011 pasal 53 ayat 3, bahwa penyidik memiliki wewenang:
a.    Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b.    Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi;
c.    Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Retribusi;
d.   Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Retribusi;
e.    Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f.     Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi;
g.    Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h.    Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi;
i.      Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.      Menghentikan penyidikan; dan/atau
k.    Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[11]
Disposisi yang diberikan Perda tersebut sudah sangat jelas diberikan kepada Penyidik (Dishub), namun pada tataran implementasinya di lapangan penertiban yang dilakukan oleh Dishub masih sangat minim dilakukan dan cenderung dibiarkan. Pembiaran ini mungkin terjadi karena ketidaktahuan mereka (Dishub) mengenai pemanipulasian tiket parkir, sikap cuek mereka (Dishub) terhadap hal yang dikira sepele, atau mungkin juga karena mereka (Dishub) sudah lelah menangani jukir-jukir nakal yang kembali melakukan pelanggaran setelah ada penyidikan.

Secara sosiologis berdasarkan observasi dan dokumentasi yang penulis lakukan, terdapat kecenderungan dan pandangan masyarakat bahwa Dinas Perhubungan hanya akan melaksanakan tugas dengan benar ketika ada program penertiban dan atau ketika ada pejabat yang lebih tinggi.

Problem hubungan antar organisasi mungkin juga menjadi salah satu indikasi tidak maksimalnya Perda Kota Malang tentang struktur dan besarnya tarif parkir. Sebagaimana pasal-pasal dalam Perda tersebut belum tercantum dengan jelas siapa yang dimaksud dengan penyidik tersebut. Sehingga tidak ada keharusan bagi Dishub untuk melakukan pengawasan dan penyidikan mengenai pemanipulasian tiket parkir tersebut.

Simpulan dan Saran
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyaknya pelanggaran yang terjadi di Kota Malang berkaitan dengan Pemanipulasian tiket parkir adalah dilatarbelakangi beberapa masalah sebagai berikut:
1.    Sosiologis
a)    Kurangnya Controlling dalam pemberlakuan tiket parkir.
b)   Banyak praktek masyarakat yang melakukan pelanggaran sehingga menjadi contoh bagi masyarakat yang lain.
2.    Normative
a)    Penegak hukum cenderung menunggu program penertiban dan atau ketika ada pejabat yang lebih tinggi untuk melakukan penertiban.
b)   Tidak terdapat peraturan yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan penyidik.
Realitas hukum yang terjadi sebagaimana penulis sampaikan diatas merupakan sebuah cerminan bahwa dalam melaksanakan dan menegakkan sebuah aturan hukum, diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum, meliputi:
1.    Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pengetahuan hukum yang benar.
2.    Pemahaman hukum
Pemahaman hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dimaksud oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu mempunyai pemahaman hukum yang benar.
3.    Penataan hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab:
a.    Takut karena sanksi negative, apabila hukum dilanggar
b.    Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
c.    Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
d.   Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
e.    Kepentingannya terjamin.


4.    Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogianya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu. Penerangan dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.[12]

Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004)
Najih, Mokhammad, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara PRESS, 2012)
Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982)
Soeroso, Pengantar Ilmu hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2014)




[1] Soeroso, Pengantar Ilmu hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2014), h.27
[2] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004), h.22
[3] Mokhammad Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara PRESS, 2012), h. 3
[7] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), h. 140.
[9] Wawancara di laksanakan pada 06 Desember 2015
[12] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 66-69.