Minggu, 26 April 2015

FIQH IBADAH KEL 7



SHALAT MAKTUBAH (SHALAT MAFRUDLAH)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Fiqh Ibadah
Dosen Pengampu: Dr. H. Moh. Toriquddin. LC. MH.I


                                                                             
Disusun oleh:
Mustakim (14220006)
Yuni Nasrul Latifi (14220019)
Aida Fauziyah Fitriani (14220030)



JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015

 

KATA PENGANTAR


             Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat terselesaikan.
               Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang dengan mana kita dapat meniru suri tauladan beliau sehingga kita dapat membuat makalah ini.
Tugas karya tulis yang diberi judul Shalat Maktubah (Shalat Mafrudlah)ini ialah suatu karya tulis yang terbentuk dari hasil kerja sama kelompok, dimana tugas ini merupakan persyaratan dari aspek penilaian matakuliah Fiqh Ibadah.
               Dengan tersusunnya makalah ini kami berharap para pembaca dapat memahami isi makalah ini dan berminat untuk membacanya dan kami berharap makalah ini dapat berguna untuk kita semua.
                 Penyusun karya tulis ini tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :   
1.      Bapak. Dr. H. Toriquddin. LC. MH.I selaku dosen pengajar mata kuliah Fiqh Ibadah.
2.      Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, baik selama penyusunan tugas ini maupun di luar itu.
               Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua, amin.
              Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam  menyelesaikan makalah ini dan kami memastikan bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami minta saran dan kritiknya.
Harapan penulis, semoga penulis tugas karya tulis ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.


 TimPenulis,

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman judul.............................................................................                  i
Kata Pengantar..............................................................................                 ii
Daftar Isi........................................................................................                 iii

BAB I. Pendahuluan......................................................................                1
            A.        Latar Belakang…………………………………….               1
            B.        Rumusan Masalah…………………………………               1
            C.        Tujuan……………………………………………..               2
BAB II.Pembahasan………………………………………………               3
A.          Definisi Shalat Maktubah………………………….              3
B.           Hukum shalat maktubah……..…………………….              3
C.           Waktu shalat Maktubah………………..…………..              4         
BAB III. Penutup……………………………………………………           16
            A.        Kesimpulan…………………………………………             16
            B.        Saran…………………………………………………           16

Daftar Pustaka.....................................................................................           iv




BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
                 Sebagai orang islam yang sudah baligh hendaknya kita melakukan kewajiban kita yaitu shalat lima waktu. Shalat lima waktu (shalat maktubah) adalah salah satu rukun Islam. Shalat lima waktu hukumnya Fardhu ‘Ain, yaitu wajib dilaksanakan oleh semua orang Islam yang mukallaf (baligh dan berakal/sadar). Shalat lima waktu ini memiliki waktu tertentu dalam pelaksanaannya.
                 Shalat adalah yang paling utama dari ibadah-ibadah badaniyah yang tampak, kemudian puasa, haji dan zakat, fardlu dan sunnah-sunnahnya sholat adalah utama-utamanya fardlu dan sunnah. Shalat merupakan rukun islam yang ke dua, dan dia adalah tiangnya agama. Keutamaannya sangat besar sebagaimana yang dalam salah satu firman Allah SWT ;
وَاَقِمِ الصَّلَوةَ طَرَفَي النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ الَّيْلِ اِنَّ الحَسَنَتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتْ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِيْنَ
Artinya : "Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)." (QS ; Hud : 114).
1.2 Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan sholat maktubah dan bagaimana sejarahnya?
2.    Bagaimana hukumnya sholat maktubah ?
3.    Kapan waktu dan tempat pertama kali diwajibkannya sholat maktubah ?
4.    Bagaimana dalil yang mewajibkan dan waktu-waktu pelaksanaannya sholat maktubah ?
1.3 Tujuan Masalah
1.    Untuk mendiskripsikan apa yang dimaksud dengan shalat maktubah dan bagaimana sejarahnya.
2.    Untuk menjelaskan bagaimana hukumnya shalat maktubah.
3.    Untuk menelaah kapan waktu diwajibkannya shalat maktubah.
4.    Untuk menerangkan bagaimana dalil yang mewajibkan dan waktu-waktu pelaksanaannya shalat maktubah.


 
BAB II
PEMBAHASAN
A.                 Definisi Shalat Maktubah dan sejarahnya
Shalat maktubah atau disebut juga shalat mafrudlah adalah ialah shalat-shalat yang difardhukan atas tiap-tiap muslim yang mukallaf, yaitu: Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya. Shalat-shalat ini mulai disyari’atkan pada malam diisyra’kannya Rasulullah SAW ke Baitul Maqdis, kemudian dimi’rajkan ke langit. Di sana Allah telah mewajibkan atas Nabi-Nya dan seluruh kaum muslimin 50 shalat sehari semalam. Kemudian, oleh Allah Azza Wa Jalla diringankan menjadi shalat 5 kali shalat saja, yakni 5 kali dilaksanakan, namun pahalanya seperti yang 50 kali. Ini adalah menurut pendapat yang masyhur dikalangan ahli sejarah. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat sahabat Anas r.a, :
أَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ: فَرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَم لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَّلَوَاتُ خَمْسِيْنَ، ثُمَّ نَقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا، ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُ لاَ يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ   لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْس خَمْسِيْنَ
Anas ibn Malik, menyatakan, “shalat difardhukan kepada Nabi Muhammad SAW pada malam isra’ dengan 50 waktu, kemudian dikurangi hingga lima waktu. Kemudian Nabi Muhammad SAW diseru, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya keputusan-Ku tidak berubah, sesungguhnya lima waktu ini bagimu sama pahalanya dengan lima puluh waktu shalat.’”
Sebagian ulama Hanafi mengatakan bahwa shalat difardhukan pada malam Isra’ sebelum hari sabtu tanggal 17 Ramadhan satu setengah tahun sebelum Hijrah. Namun, al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan shalat difardhukan pada tanggal 27 Rajab, dan pendapat ini diikuti oleh umat islam diberbagai Negara.[1]
B.       Hukum Shalat Maktubah
Hukum shalat fardhu adalah fardhu’ain bagi setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal). Tetapi apabila seorang anak-anak telah mencapai umur tujuh tahun, hendaklah ia disuruh melakukan shalat. Apabila telah mencapai umur 10 tahun, hendaklah ia dipukul dengan tangan bukan dengan kayu apabila dia tidak mau mengerjakannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
مُرُوْا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ
فِيْ الْمَضَاجِعِ
`     
“Suruhlah anakmu shalat semasa umur mereka telah mencapai tujuh tahun dan pukullah mereke setelah umurnya 10 tahun dan pisahlah tepat tidur mereka.”
                 Shalat yang diwajibkan adalah lima waktu dalam sehari semalam. Orang islam tidak mempersilisihkan kewajiban shalat ini. Tidak ada shalat lain yang diwajibkan kecuali karena nadzar. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah lalu dan juga berdasarkan hadits al-A’rabi yang menyebutnya bahwa Rasul SAW bersabda:
“Lima kali shalat dalam sehari semalam.” Kemudian al-A’rabi itu bertanya, “apakah saya mempunyai kewajiban shalat yang lain?” Rasulullah menjawab, “Tidak, kecuali shalat sunnah (jika engkau senang melakukannya).”[2]
C.     Waktu-Waktu Shalat
Sholat-sholat maktubah (wajib) ada lima, yaitu ; Dhuhur, 'Ashr, Magrib, 'Isya' dan shubuh, yang ditetapkan dalam Al-Qur'an didalam dua ayat:
فَسُبْحَنَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَحِيْنَ تُصْبِحُوْنَ (17) وَلَهُ الْحَمْدُ فِى السَّمَوَتِ وَالْاَرْضِ وَعَشِيًّا وَّحِيْن تُظْهِرُوْنَ(18)  
Artinya :
"Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari (waktu shubuh) . Dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu dhuhur (tengah hari). (Q.S Ar-Ruum :17-18)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi)[3]
| Shalat Maktubah dan waktunya
1.    Shalat Zhuhur
Waktu zhuhur bermula dari tergelincirya matahari hingga bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya. Tergelincirnya matahari adalah apabila matahari mulai condong ke barat dari kedudukannya ditengah-tengah langit. Kedudukannya ditengah-tengah langit dinamakan halah istiwa’. Apabila matahari berpindah dari timur ke barat, maka berlakulah proses tergelincir (zawal) ini. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim).
Tergelincirnya matahari dapat diketahui dengan cara melihat bayang-bayang orang yang berdiri tegak, atau suatu tiang tegak tegak ditancapkan tanah. Jika bayangannya kurang (disebelah barat), maka ia belum tergelincir (qabla az-zawal). Jika bayangannya terhenti ditengah, tidak lebih dan tidak kurang maka itu adalah waktu istiwa’. Jika bayang-bayang makin bertambah (ke timur) maka matahari sudah tergelincir (ba’da az-zawal).
Jika bayang-bayang suatu benda mulai kelihatan (disebelah timur) benda ataupun matahari mulai condong ke arah barat, maka waktu zhuhur mulai masuk. Menurut Jumhur ulama, waktu shalat zhuhur berakhir apabila bayang-bayang suatu benda panjangnya sama dengan bendanya.
            Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا
 اتِّقَاءَ الْحَرِّ
Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maksud dari hadits tersebut adalah menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin,), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.”
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.”
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ قَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahanam.” (HR. Al­-Bukhari dan Muslim)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk.
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal.
Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim).[4]
2.    Shalat Ashar
Ashar dalam bahasa berarti masa, dia adalah utama-utamanya sholat lima waktu dan shalat wustho yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT :
 حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَتِ وَالصَّلَوةِ الْوُسْطَى وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَنِتِيْنَ  عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
Artinya : "peliharalah semua shalat dan shalat wustho, dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusuk. "(Q.S Al-Baqarah : 238).
Waktu shalat Ashar masuk ketika bayangan sesuatu sudah menyamai panjangnya selain bayangan istiwa' dan lebih sedikit. Artinya shalat ashar bermula kerika bayang-bayang suatu benda bertambag dari panjang asalnya, yaitu pertambahan yang paling minimal, menurut Jumhur.
Akhir Waktu Ashar ada dua macam:
ü  Waktu ikhtiyari, yakni ketika bayangan benda dua kali panjang aslinya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
Artinya: “Dan pada hari kedua Jibril shalat bersama mereka ketika bayangan dua kali lipat panjang bendanya. Kemudian dia mengatakan waktu ashar adalah diantara dua ini.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash)
ü  Waktu idlthirary (waktu terpaksa), yakni sampai tenggelamnya matahari. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:

وَمَنْ اَدْرَكَ مِنَ الْعَصْرِ رَكْعَةً قَبْلَ اَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الْعَصْرَ
Artinya: “Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari tenggelam berarti ia mendapatkan shalat ashar.” (HR. Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah)
Akan tetapi tidak sepantasnya seorang muslim menunaikan shalat ashar di akhir waktu kecuali jika terpaksa. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Ibnu Qudamah, bahwa Shalat ashar di saat matahari telah berwarna kuning atau menjelang terbenamnya matahari merupakan ciri-ciri shalat orang yang munafik sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى اِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ
فَنَقَرَهَا اَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيْهَا اِلَّا قَلِيْلًا
                                                       
Artinya: “Itu adalah shalat orang munafik 3x. Mereka duduk-duduk (menunggu matahari hendak terbenam) sehingga tatkala matahari berada di antara dua tanduk syaithan, dia lakukan shalat empat rakaat dengan cepat kilat ibarat ayam yang sedang mematuk, dia tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit saja.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik).[5]
3.    Shalat Maghrib
Waktu shalat Maghrib masuk dari terbenamnya matahari, dan keluar dengan terbenamnya atau hilangnya mega merah di ufuk. Pendapat ini disepakati oleh seluruh ulama Jumhur (Ulama Hanafi, Hambali, dan qaul qadim madzhab Syafi’i). Mereka menggunakan dalil hadits:
وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبَ الشَّفَقُ
 Artinya: “Waktu maghrib adalah selama syafaq (cahaya merah) belum hilang.
Syafaq menurut Abu Yusuf, Muhammad Hasan asy-syaibani, ulama madzhab Hambali dan ulama Syafi’I adalah syafaq ahmar (cahaya merah). Sedangkan berdasarkan kata-kata Ibnu Umar, asy-Syafaq adalah al-Humrah (merah). Pendapat yang difatwakan dalam madzhab Hanafi adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani. Pendapat inilah yang menjadi pendapat dalam madzhab tersebut.
Adapun  hadits lain tentang awal mula shalat maghrib adalah sebagai berikut:
وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ
Artinya: “Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq”( (HR. Muslim).
Akhir Waktu Maghrib
Para ulama Ahlussunah wal Jama’ah bersepakat bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika matahari terbenam. Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Aisyah, Mu’adz, dan Ibnu Abbas :
وَاَخِرُ وَقْتِ الْمَغْرِبِ اِذَا اسْوَدَّ الأَفَقَ
Artinya: “akhir waktu Maghrib adalah apabila ufuq menjadi hitam”.[6]

4.    Shalat Isya’
Menurut para madzhab, waktu isya bermula dari hilangnya syafaq ahmar (cahaya merah) hingga munculnya fajar shadiq. Maksudnya adalah beberapa saat sebelum muncul fajar. Hal ini berdasarkan kata-kata Ibnu Umar yang dulu, yaitu “Syafaq merah, apabila syafaq itu hilang, maka wajiblah shalat (isya’)”.

Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَصَلىَّ بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقَ
“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud)
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Artinya: “Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim).
Akhir Waktu Isya’

Adapun akhir waktu isya’ dibagi dua :
1.      Waktu ikhtiyary (pilihan) ketika pertengahan malam. Sebagai misal, jika matahari terbenam pada pukul 6 sore dan terbit pada jam 6 pagi maka batas akhir waktu isya’ adalah pukul 12 malam.
Adapun hadits yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2.      Waktu idlthirary (terpaksa) yakni sampai masuknya waktu subuh, sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
Artinya: “Suatu hal yang berlebih-lebihan bagi orang yang tidak melakukan shalat sampai datangnya waktu shalat yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah).
5.    Shalat Shubuh
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq, Fajar shadiq adalah cahaya putih yang tampak terang yang berada sejajar dengan garis lintang ufuk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Akhir Waktu Subuh
Akhir waktu subuh dibagi dua:
1.    Ikhtiyary (pilihan) terus berlangsungnya waktu tersebut (fajar shadiq).
2.    Idlthirary (terpaksa) sampai terbitnya matahari sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
Artinya: “Barangsiapa menjumpai rakaat sebelum terbitnya matahari sungguh telah menjumpai shalat subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).[7]
| Waktu Shalat Yang Paling Utama
Di antara amalan yang paling dicintai Allah adalah shalat pada waktunya, yaitu di awal waktu, selain waktu tertentu yang dikecualikan:
1.      Shalat dhuhur
Ketika udara sangat panas menyengat maka yang afdhal adalah menunggu sampai suhu udara turun (berangsur dingin). Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
Artinya: “Bila udara sangat panas terik maka tunaikanlah shalat tatkala udara mulai dingin.” (HR. Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah)
2.      Shalat isya’
Yang paling afdhal adalah mengakhirkannya hingga pertengahan malam. Berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
لَوْلَا اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِيْ لِأَمَرْتُهُمْ اَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ اِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ اَوْ نِصْفِهِ
           Artinya :”kalaulah tiak menjadi menyusahkan umatku, niscaya aku menyuruh mereka melewatkan shalat isya’ hingga kepada sepertiga malam atau separuh malam.

| Udzur-Udzur Shalat
Makna dari udzur-udzur shalat adalah bahwasannya orang tidak berdosa jika mengakhirkan shalat keluar dari waktunya dengan udzur apapun dari udzur-udzur ini.
1.      TIDUR
Tidur ini dianggap sebagai udzur jika tidurnya tersebut sebelum masuknya waktu shalat. Adapun jika tidurnya tersebut setelah masuknya waktu shalat maka tidak dianggap sebagai udzur, kecuali jika sudah menjadi kebiasaannya dia bisa bangun dari tidurnya sebelum keluar waktu shalat, atau dia telah berpesan kepada orang yang bisa dipercaya untuk membangunkannya sebelum waktu shalat keluar.
Dan disunnahkan membangunkan orang yang tidur sebelum masuknya waktu shalat, dan wajib hukumnya membangunkan orang yang tidur setelah masuknya waktu shalat.
2.      LUPA
Lupa bisa dianggapkan sebagai udzur jika lupanya tersebut disebabkan oleh perkara yang mubah, adapun jika lupanya disebabkan oleh perkara yang makruh atau haram maka lupanya tersebut tidak bisa dianggap sebagai udzur.
3.      DI PAKSA
Sekiranya orang yang hendak shalat di paksa mengeluarkan shalat dari waktunya, maka keadaan tersebut bisa dianggap sebagai udzur jika memenuhi syarat-syaratnya paksaan / ikroh ( الإكراه ).
Empat syaratnya paksaan ;
a.       Mampunya orang yang memaksa ( mukrih ) untuk melaksanakan ancamannya dengan kekuasaan atau kekuatannya.
b.      Lemah / tidak mampunya orang yang dipaksa ( mukrah ) untuk menolak atau menghindar dari yang dipaksakan dengan melarikan diri atau meminta pertolongan.
c.       Si mukrah berprasangka jika dia menolak maka si mukrih akan benar-benar melaksanakan apa yang diancamkannya.
d.      Tidak ada tanda-tanda pilihan lain.



BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Shalat maktubah atau disebut juga shalat mafrudlah adalah ialah shalat-shalat yang difardhukan atas tiap-tiap muslim yang mukallaf, yaitu: Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya Hukum shalat fardhu adalah fardhu’ain bagi setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal).
Waktu zhuhur bermula dari tergelincirya matahari hingga bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya. Waktu shalat Ashar masuk ketika bayangan sesuatu sudah menyamai panjangnya selain bayangan istiwa' dan lebih sedikit. Waktu shalat Maghrib masuk dari terbenamnya matahari, dan keluar dengan terbenamnya atau hilangnya mega merah di ufuk. Menurut para madzhab, waktu isya bermula dari hilangnya syafaq ahmar (cahaya merah) hingga munculnya fajar shadiq. Maksudnya adalah beberapa saat sebelum muncul fajar. Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq, Fajar shadiq adalah cahaya putih yang tampak terang yang berada sejajar dengan garis lintang ufuk.
Waktu Shalat Yang Paling Utama Di antara amalan yang paling dicintai Allah adalah shalat pada waktunya, yaitu di awal waktu, selain waktu tertentu yang dikecualikan: Shalat dhuhur Ketika udara sangat panas menyengat maka yang afdhal adalah menunggu sampai suhu udara turun (berangsur dingin). Shalat isya’ Yang paling afdhal adalah mengakhirkannya hingga pertengahan malam. Udzur-udzur shalat diantaranya tidur, lupa dan di paksa.
B.     Saran
Sebagai orang islam yang telah banyak belajar mengenai Shalat dan waktu waktunya, hendaknnya kita mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar shalat kita lebih diridhai oleh Allah SWT. Karena itu telah disyariatkan oleh Allah Swt dan Nabi Muhammad SAW terhadap umat Islam.


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu Jilid 1,(Jakarta;Gema Insani (Darul Fikir), 2010), Hlm.541.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu…,…,hlm.542.
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul mujtahid, (Jakarta;Pustaka Amani,1990).hlm. 185-187.
[4] Sulaiman Rasjid, fiqh Islam, (Bandung;Sinar Baru Algesindo,2004).hlm. 61
[5] Lukman Zain, Modul Pembelajaran Fiqh, (Jakarta Pusat; Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, 2012), Hlm.133.
[6] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah Jilid 1, (Jakarta Selatan; Pustaka Azzam,2006), Hlm. 341.
[7] Sulaiman Rasjid, fiqh Islam,…,hlm. 61







DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa adillatuhu Jilid 1, Jakarta:Gema Insani (Darul Fikir), 2010
Rusyd, Ibnu, Bidayatul mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 1990
Zain, Lukman, Modul Pembelajaran Fiqh, Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, 2012
Kamal, Abu Malik, Shahih Fikih Sunnah Jilid 1, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2006
Rasjid, Sulaiman, fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar