A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari, terutama dalam pedesaan banyak sekali persoalan-persoalan yang
tidak bisa diselesaikan begitu saja. Yang mana butuh penguatan hukum untuk
dijadikan sebagai pedoman. Salah satunya adalah masalah perkebunan dan
persawahan,yang kita kenal dengan parohan sawah atau ladang. Sistem paroan
sawah ini biasa kita sebut dalam istilah fiqh yaitu musaqoh, muzara’ah, dan
mukhobarah.
Hal
ini muncul karena beberapa sebab, diantaranya yaitu banyaknya masyarakat yang
memiliki kebun tapi tidak bisa mengolah, begitupun sebaliknya ada yang tidak
punya sawah tapi ia sanggup mengolah ladang. Dari hal ini akhirnya keduanya
muncul kerjasama yang mana pemilik lahan memberikan lahannya kepada tukang
kebun untuk mengolah, lalu hasilnya dibagi dua sesuai dengan akad yang telah
disepakati.
Namun,
dalam pelakasanaan musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, sering terjadi
permasalahan dan perselisihan antar pihak yang terkait. Meskipun
ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalahpahaman
antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang
diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga
mengenai hal benih yang akan ditanam.
Makalah ini
juga membahas tentang syuf’ah. Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan, menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan.
Ia memiliki aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang
terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah
ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan
rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan
sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at
yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata
lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari benda-benda
yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka bagi sekutu
yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga yang sama,
sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini
berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang
disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak
dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya
diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada
Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak
ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan
barang yang dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas
lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
Dari
permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, untuk menambah
wawasan kita dalam menyikapi terjadinya kesalahpahaman dan persoalan-persoalan
lain yang berkenaan dengan hal tersebut.
2.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian musaqoh, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
2. Apa
pengertian muzara’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
3. Apa
pengertian mukhobarah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
4. Apa
pengertian syuf’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
3.
Tujuan
1) Untuk
mengetahui apa pengertian musaqoh, dan bagaimana rukun, syarat dan
hukum-hukumnya.
2) Untuk
menelaah apa pengertian muzara’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan
hukum-hukumnya.
3) Untuk
mengidentifikasi apa pengertian mukhobarah, dan bagaimana rukun, syarat dan
hukum-hukumnya.
4) Untuk
menjelaskan apa pengertian syuf’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Musaqah
a)
Pengertian
Musaqah
ü Musaqah adalah pemilik kebun yang memberikan kebunnya
kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun
itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya diwaktu akad. Berdasarkan hadits Nabi SAW :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi SAW
telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik
dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (Riwayat Muslim)[1]
ü Sedangkan
secara syara’ adalah, al-musaaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja
berupa pemasrahan pepohonan kepada seorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan
hasil buahnya dibagi antara kedua belah pihak. Atau dengan kata lain, sebuah
kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil pepohonan yang didapatkan. Atau
dengan kata lain, dengan memasrahkan pohon kepada seseorang untuk ia rawat dan
kelola dengan upah sebagian tertentu dari buah yang dihasilkan.
ü Musaqah
(pengairan) adalah sejenis syirkah (kerja sama) untuk memperoleh hasil
pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan akad untuk itu dengan hasil yang
dibagi secara musya’ (bersama-sama).[2]
b)
Syarat-syarat
Musaqah
1.
Ahli
dalam akad
2.
Menjelaskan
bagian penggarap atau pekerja
3.
Membebaskan
pemilik dari pohon
4.
Hasil
dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad atau sesuai
kesepakatan
5.
Sampai
batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir
c)
Rukun-rukun
Musaqah
Rukun-rukun Al-Musaqah menurut Jumhur
1.
Pemilik dan
penggarap kebun.
Baik pemilik
kebun maupun tukang kebun (yang mengerjakan) keduanya hendaklah orang yang
sama-sama berhak ber-tasarruf (membelanjakan) harta keduanya.
2. Sasaran atau obyek al-Musaaqah
Menurut ulama Syafi’iyyah adalah pohon kurma dan
pohon anggur saja. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, adalah setiap pohon
berbuah yang berbuah yang dimakan, yang ditanam dan diketahui oleh pihak
penggarap mana saja pohonnya, dan ia melakukan hal-hal yang dibutuhkan
oleh pepohonan tersebut dengan upah sebagian dari kesseluruhan buah yang
dihasilkan (musyaa’) yang kadarnya ditentukan, sebagaimana yang telah kami
jelaskan dibagian terdahulu. Akad al-Musaaqah tidak boleh kecuali terhadap
pohon yang diketahui dengan jelas. Jika pohon yang menjadi sasaran menjadi
sasaran al-Musaaqah tidak diketahui dengan jelas dan pasti, maka akad tidak
sah.
3.
Pekerjaan dengan ketentuan yang jelas baik waktu, jenis, dan
sifatnya. Pekerjaan
hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih.
Sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah bisa
berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah semua
pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan
yang berfaedah) untuk buah seperti menyiram, merumput, dan mengawinkannya.
4.
Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau yang
lainnya. Buah, hendaknya
ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun) misalnya
seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya
pada waktu akad.
5.
Akad, yaitu ijab qabul baik berbentuk perkataan maupun
tulisan
Menurut ulama Syafi’iyah, qabul di dalam akad
al-Musaaqah harus diungkapkan secara lisan bagi orang yang bisa berbicara.
Karena akad al-Musaaqah adalah akad yang berlaku laazim (mengikat) seperti
ijarah dan yang lainnya. Adapun jika orang yang bersasngkutan adalah orang
bisu, maka qabulnya boleh dengan menggunakan bahasa isyarat yang bisa dipahami,
seperti dengan lewat tulisan.
d)
Hukum-hukum
Musaqah
Apabila akad Musaaqah telah memenuhi semua syarat-syaratnya,
maka akad al-Musaaqah itu sah. Namun apabila ada salah satu ayarat yang tidak
terpenuhi, maka akad al-Musaaqah itu berarti rusak atau tidak sah.[3]
1.
Hukum
al-Musaqah yang sah
Alasan membolehkan Musaqah ini, yaitu apa yang
diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa:
“Pernah Rasulullah saw memberi (penduduk) khaibar
sebagian daripada apa yang dihasilkan perkebunannya dari buah-buahan dan
sayur-sayuran.”
Dan di dalam riwayat lain:
“Rasulullah saw telah menyerahkan kepada kaum Yahudi
Khaibar pepohonan dan perkebunan Khaibar dengan syarat mereka mengerjakannya dengan
harta mereka, dan diberikan setengah hasilnya kepada Rasulullah saw.”[4]
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah
sah adalah:
a. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon
diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan
dibagi dua.
b. Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak
mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak.
e. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada
uzur.
f. Boleh menambah
hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
g. Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain
kecuali jika di izinkan oleh pemilik.
Menurut ulama
Malikiyah:
a.
Sesuatu yang
tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh
disyaratkan.
b.
Sesuatu yang
berkaitan dengan buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi oleh
penggarap.
c.
Sesuatu yang
berkaitan dengan buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti
menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
Ulama Syafi’iyah
dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa
segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan
pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
2. Hukum musaqah fasid (tidak sah)
Musaqah fasid
adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Menurut ulama
Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a. Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang
akad.
b. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan
pada penggarap.
e. Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian.
f. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah
habis waktu akad.
g. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h. Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap
membagi lagi kepada penggarap lainnya.
e)
Habis waktu
Musaqah
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah
dianggap selesai apabila:
a.
Habis waktu
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
b.
Meninggalnya
salah seorang yang akad
c.
Membatalkan,
baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah sependapat dalam hal ini.
f)
Hikmah
Musaqoh
1. Dapat terpenuhinya kemakmuran yang
merata.
2. Terciptanya saling memberi manfaat
antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
3. Bagi pemilik tanah merasa terbantu
karena kebunya dapat terawat dan menghasilkan.
4. Di samping itu, kesuburan tanahnya
juga dapat dipertahankan.
2.
Muzara’ah
a) Pengertian
Muzara’ah
Kata,
“al-Muzara’ah”, secara etimologi adalah bentuk mashdar (infinitif) dari asal
kata, “az-Zar’u”, yang artinya adalah, al-inbaat (menanam, menumbuhkan).
Sedangkan
secara terminologi syara’ adalah sebuah akad pengolahan dan penanaman (lahan) dengan
upah sebagian dari hasilnya.
Ulama Malikiyyah mendefinisikannya dengan
persekutuan atau perjoinan (kerjasama) dalam mengolah dan menanami lahan.
Ulama Hanabilah mendefinisikannya seperti berikut,
penyerahan suatu lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah dan menanaminya,
sedangkan hasil tanamannya dibagi di antara mereka berdua (pemilik lahan dan
pengolah).
Ada beberapa ulama’ yang mengemukakan pendapatnya
tentang pengertian Muzara’ah, diantaranya:
· Menurut
Hanabilah Muzara’ah ialah:
عَنْ يَدْفَعَ
صَاحِبُ الأَرْضِ الصَّا
لِحَةِ الْمُزَارَعَةِ أرْضَهُ
لِلْعَامِلِ
الَّذِىْ يَقَوْمُ يِزَرْعِهَا
وض بَدْفَعُ لَهُ
الْحُبَّ
“Pemilik
tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja
diberi bibit.”
· Menurut
Dhahir Nash, As Syafi’I berpendapat bahwa Muzara’ah ialah :
اِكْتِرَاءَ الْعَامِلِ لِيَزْرَعَ الأَرْضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
“ Seorang
pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
· Syaikh
Ibrahim Al Bajuri berpendapat bahwa Muzara’ah ialah:
عَمَلُ الْعَا مِلِ فِى الأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْمَالِكَ
“Pekerja
mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari
pemilik tanah.”[5]
Dari beberapa definisi diatas, maka kesimpulannya
bahwa muzara’ah adalah akad pemanfaatan dan penggarapan lahan pertanian antara
pemilik lahan dengan pihak yang menggarap tetapi bibitnya dari petani.[6]
b)Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Muzara’ah
Menurut
Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan
pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun Muzara’ah menurut Hanafiyah
ada 4, yaitu:
1. Tanah
2. Perbuatan
pekerja
3. Modal
4. Alat-alat
untuk menanam.
Syarat-syaratnya
ialah sebagai berikut:
a)
Syarat yang
bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b)
Syarat yang
bertalian dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja
yang akan ditanam.
c)
Hal yang
berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
1.
Bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
2.
Hasil adalah
milik bersama.
3.
Bagian antara
Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas,
bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal itu tidak
sah.
4.
Bagian kedua
belah pihak sudah dapat diketahui
5.
Tidak disyaratkan
bagi salah satu nya penambahan yang ma’lum.
d)
Hal yang
berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
v
Tanah tersebut
dapat ditanami
v
Tanah tersebut
dapat diketahui batas-batasnya.
e)
Hal yang
berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya:
|
Waktunya telah
ditentukan
|
Waktu itu
memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya
kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan
setempat)
|
Waktu tersebut
memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
f)
Hal yang berkaitan
dengan alat-alat Muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan
atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Sedangkan
menurut Hanabilah, rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul, boleh
dilakukan dengan lafadz apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan Kabul dan
bahkan Muzara’ah sah dilafadzkan dengan lafadz ijarah.[7]
c) Dasar Hukum Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan
hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
“ sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan,
bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya
yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.
عَنْ
رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا
نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِه وَلَمْ
تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَن ذَلِكَ
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Adapun
maksud hadis tersebut adalah “apabila penghasilan dari sebagian tanah
ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang
kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil
penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun
tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan
hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur.
Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan
dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan
ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai
dengan pendapat yang kedua ini.
d)
Hikmah
Muzara’ah
1. Supaya tanah yang semula
tersia-siakan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
2. Memberikan pekerjaan bagi orang-orang
miskin yang menganggur untuk memelihara tanah dan tanaman-tanaman yang berada
ditempat tersebut.
3. Tanah yang terdapat tanaman-tanaman
yang semula tidak bisa dipelihara oleh pemiliknya bisa terpelihara dengan baik.
e) Berakhirnya
akad Muzara’ah
Suatu akad Muzara’ah berakhir
apabila:
1. Meninggalnya salah satu pihak, namun
dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika pemilik lahan meninggal dunia
sementara tanamannya masih hijau, maka penggarap harus terus bekerja sampai
tanaman itu matang. Ahli waris dari yang meninggal tidak berhak melarang orang
itu untuk berbuat demikian. Jika penggarapnya yang meninggal dunia, maka ahli
warisnya menggantikannya, dan bila ia mau boleh meneruskan kerja mengolah tanah
sampai tanaman itu matang, dan pemilik lahan tidak melarangnya.
2. Jangka waktu yang disepakati
berakhir. Jika dalam menyewa tanah berada dalam tahun (waktu dalam tahun
tersebut) yang dimungkinkan adanya panen maka diperbolehkan. Hal ini untuk
menghindari waktu habis dan panen belum tiba.
3. Jika banjir merusak dan
melanda tanah sewa sehingga kondisi tanah dan tanaman rusak maka perjanjian
berakhir.
4. Ketika waktu berakhir maka pemilik dilarang mencabut tanaman
sampai pembayaran diberikan dan hasil panen dihitung.
5. Maka solusi untuk menghindari
kemungkinan berakhirnya akad muzara’ah terutama yang disebabkan oleh kondisi
alam, yaitu dilakukan dengan cara memperhatikan keadaan tanah, apakah tanah
tersebut gembur ataukah keras. Kira-kira jenis tanaman apa yang cocok untuk
ditanam dalam kondisi tanah seperti tersebut. Kemudian harus memperhatikan
cuaca atau musim.
3. Mukhabarah
a)
Pengertian
Mukhabarah
Mukhabarah
adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan
penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah.
Hasilnya menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan
persentase yang telah disepakati.
Menurut ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah
adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal
dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya
berasal dari pemilik tanah.”
b)
Dasar
hukum Mukhabarah
Dasar
hukum mukhabarah merupakan sama dengan hukum Muzara’ah
Dasar
hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah
adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
“ sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan,
bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya
yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.
عَنْ
رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا
نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِه وَلَمْ
تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَن ذَلِكَ
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Rasulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Rasulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Adapun
maksud hadis tersebut adalah “apabila penghasilan dari sebagian tanah
ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang
kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil
penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun
tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan
hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur.
Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan
dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan
ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai
dengan pendapat yang kedua ini.
c)
Rukun
dan Syarat Mukhabarah
a. Rukun
Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
· Pemilik
tanah
· Petani/Penggarap
· Obyek
mukhabarah
· Ijab
dan qabul, keduanya secara lisan.
b. Syarat
dalam mukhabarah, diantaranya :
· Pemilik
kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
· Benih
yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
· Lahan
merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya, dan diserahkan
sepenuhnya kepada penggarap.
· Pembagian
untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
· Jangka
waktu harus jelas menurut kebiasaan.
d)
Adapun hikmah Mukhabarah antara
lain:
a.
Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara
pemilik tanah dengan petani penggarap.
b.
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c.
Tertanggulanginya kemiskinan.
d.
Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang
memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
4. Syuf’ah
a. Pengertian Syuf’ah
Asy-Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan),
hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang
yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra
usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual.
Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya
daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.[8]
Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh
Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada
pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. Berbeda
dengan para ulama menafsirkan al-syuf’ah
adalah sebagai berikut :
1.
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa
yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah :
“Hak
memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik
yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang
dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”
2.
Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah
ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i sebagai pengganti dan pembeli
denan membayar harga brang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa
dibayar oleh pembeli lain.
Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa
as-syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke
pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota
perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan
barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu
persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti
nilai harga jual yang sudah dilakukan.
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ
لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ
تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ فَهُوَ اَحَقُّ بِه
“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah
atas tiap perserikatan terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang
diantara anggota persekutuan itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin
perserikatannya. Jika seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak
yang akan dijual oleh partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak
berminat, ia pun boleh meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa
seizin para koleganya dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan
itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual tersebut”.[9]
- Landasan Hukum Al- Syuf’ah
Pengambilan Masyfuu’fihi oleh Syafii’statusnya adalah seperti pembelian
yang baru. Ulama Hanafiyyah mengatakan, hukum Syuf’ah adalah boleh jika
memang sebabnya terpenuhi, meskipun setelah beberapa tahun berlalu, yakni jika
memang Syafi’ tidak mengetahuinya. [10]
- Rukun-Rukun Syuf’ah
ü Barang yang
diambil (sebagian yang sudah diambil), syaratnya keadaan barang tidak bergerak.
Adapun barang yang bergerak berarti dapat dipindahkan, dan tidak berlaku
padanya Syuf’ah, melainkan dengan jalan mengikuti kepada yang tidak bergerak.
ü Orang yang mengambil
barang (partner lama); disyari’atkan keadaannya orang yang tidak bersyari’at
pada zat yang diambil, dan memiliki akan bagiannya. Maka tetangga tidak berhak
mengambil Syuf’ah menurut madzhab Syafi’i, begitu juga yang bersyari’at pada
manfaat, dan orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
ü Yang dipaksa
(partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan jalan bertukar,
bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.
Syarat-syarat Asy Syuf’ah
Berdalil
kepada hadits dari Jabir r.a.: قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِوَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ : رُبْعَةٍ أَوْحَائِط.
“Rasulullah
menetapkan Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan) yang tidak
dapat dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.
Dari Jabir
r.a., berkata:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ ماَلَمْ يُقْسَم, فَإِذاَوَقَعَةِالْحُدُوْدُوَصُرِّفَتِّ
الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ (رواه الخمسة)
“Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis
yang belum dibagi/dipecah. Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian
pembedaan hak sudah jelas, maka tidak ada lagi Syuf’ah”. Riwayat
Al-Khamsah.
Artinya
bahwa Syuf’ah yang berlaku untuk semua jenis barang Musytarak (bersama)
yang menjadi milik telah dilakukan diantara keduanya, maka tidak ada lagi
Syuf’ah.[11]
Adapun cara melakukan
syuf’ah dengan syarat – syarat sebagai berikut :
ü Syuf’ah
haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artinya bahwa syaafi’ hendak
melakukan syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya
pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat
pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah
akan menjadi gugur.
ü Adapun kadar
ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga
harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak
boleh kurang.
- Pewarisan Al-Syuf’ah
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat diwariskan dan tidak
batal karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia
meninggal dunia sebelum hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal
dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya
dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta benda.
Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit menuntutnya”.
Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak dapat
diwariskan, dan juga tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah,
kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Musaqah adalah
pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya,
dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut
perjanjian keduanya diwaktu akad.
Muzara’ah adalah akad pemanfaatan dan penggarapan lahan pertanian
antara pemilik lahan dengan pihak yang menggarap tetapi bibitnya dari petani
Mukhabarah adalah kerjasama di bidang
pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap dengan benih tanaman
dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya menjadi milik kedua
belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang telah disepakati.
Syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual
ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni
anggota perserikatan (syarikah).
2. Saran
Penulis merasa bahwa perlu kiranya masyarakat
memahami hukum hukum Islam dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya. Seperti
Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah, dan Syuf’ah. Sehingga mereka tidak keliru dalam
bertindak dan kegiatan mereka menjadi barokah di dunia maupun di akhirat.
Penulis juga merasa bahwa teman teman sekalian
khusunya teman teman Hukum Bisnis Syariah dapat menerapkan aturan ini dalam
kegiatan sehari hari karena telah banyak belajar mengenai syariat syariat
islam.
DAFTAR PUSTAKA
Rusyd,
Ibnu, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur Rokhman,
Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.
Mughniyah,
Muhammad Jawad Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta;Penerbit Lentera, 2009.
Az-Zuhaili
,Wahbah, Fiqih Islam wa adillatuhu Jilid 6,Jakarta;Gema Insani, 201.
Abubakar,Imam Taqiyuddin ibn Muhammad Ahusaini, khifayatul
akhyar, Surabaya: Bina Iman,2007.
Suhendi
,Hendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta;PT. Raja Grafindo,2010.
Hajar
,Al-asqalani al-hafidz ibnu,bulughul maram, Surabaya: Mutiara Ilmu,2011.
[1] Ibnu Rusyd,
2007, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur Rokhman,
Jakarta, Pustaka Azzam, hlm: 483
[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta;Penerbit Lentera,2009), Hlm.605.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu Jilid
6,(Jakarta;Gema Insani, 2011), hlm. 581-587.
[4] Imam Taqiyuddin Abubakar bin
Muhammad Ahusaini, khifayatul akhyar, (Surabaya: Bina Iman,2007 ), hlm.
689
[5]
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah,(Jakarta;PT. Raja Grafindo,2010),Hlm:
153-155.
[7]
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah,…,Hlm: 158-159.
[8]Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Kairo: Dar al-fiqr: 1997),
hlm 45.
[9] Al-asqalani al-hafidz ibnu hajar,bulughul
maram,(surabaya: mutiara ilmu,2011). Hlm.406.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar