Senin, 22 Juni 2015

MUSAQOH, MUZARAAH, MUKHABARAH, DAN SYUF'AH



A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
                 Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pedesaan banyak sekali persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan begitu saja. Yang mana butuh penguatan hukum untuk dijadikan sebagai pedoman. Salah satunya adalah masalah perkebunan dan persawahan,yang kita kenal dengan parohan sawah atau ladang. Sistem paroan sawah ini biasa kita sebut dalam istilah fiqh yaitu musaqoh, muzara’ah, dan mukhobarah.
                 Hal ini muncul karena beberapa sebab, diantaranya yaitu banyaknya masyarakat yang memiliki kebun tapi tidak bisa mengolah, begitupun sebaliknya ada yang tidak punya sawah tapi ia sanggup mengolah ladang. Dari hal ini akhirnya keduanya muncul kerjasama yang mana pemilik lahan memberikan lahannya kepada tukang kebun untuk mengolah, lalu hasilnya dibagi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati.
                 Namun, dalam pelakasanaan musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dan perselisihan antar pihak yang terkait. Meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam.
Makalah ini juga membahas tentang syuf’ah. Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, untuk menambah wawasan kita dalam menyikapi terjadinya kesalahpahaman dan persoalan-persoalan lain yang berkenaan dengan hal tersebut.
2.      Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian musaqoh, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
2.    Apa pengertian muzara’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
3.    Apa pengertian mukhobarah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?
4.    Apa pengertian syuf’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya?


3.      Tujuan
1)      Untuk mengetahui apa pengertian musaqoh, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya.
2)      Untuk menelaah apa pengertian muzara’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya.
3)      Untuk mengidentifikasi apa pengertian mukhobarah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya.
4)      Untuk menjelaskan apa pengertian syuf’ah, dan bagaimana rukun, syarat dan hukum-hukumnya.























B.     PEMBAHASAN
1.      Musaqah
a)        Pengertian Musaqah
ü  Musaqah adalah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya diwaktu akad. Berdasarkan hadits Nabi SAW :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (Riwayat Muslim)[1]
ü  Sedangkan secara syara’ adalah, al-musaaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemasrahan pepohonan kepada seorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi antara kedua belah pihak. Atau dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil pepohonan yang didapatkan. Atau dengan kata lain, dengan memasrahkan pohon kepada seseorang untuk ia rawat dan kelola dengan upah sebagian tertentu dari buah yang dihasilkan.
ü  Musaqah (pengairan) adalah sejenis syirkah (kerja sama) untuk memperoleh hasil pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan akad untuk itu dengan hasil yang dibagi secara musya’ (bersama-sama).[2]

b)        Syarat-syarat Musaqah
1.      Ahli dalam akad
2.      Menjelaskan bagian penggarap atau pekerja
3.      Membebaskan pemilik dari pohon
4.      Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad atau sesuai kesepakatan
5.      Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir
c)         Rukun-rukun Musaqah
Rukun-rukun Al-Musaqah menurut Jumhur
1.    Pemilik dan penggarap kebun. Baik pemilik kebun maupun tukang kebun (yang mengerjakan) keduanya hendaklah orang yang sama-sama berhak ber-tasarruf (membelanjakan) harta keduanya.
2.    Sasaran atau obyek al-Musaaqah
Menurut ulama Syafi’iyyah adalah pohon kurma dan pohon anggur saja. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, adalah setiap pohon berbuah yang berbuah yang dimakan, yang ditanam dan diketahui oleh pihak penggarap mana saja pohonnya, dan ia melakukan hal-hal yang dibutuhkan  oleh pepohonan tersebut dengan upah sebagian dari kesseluruhan buah yang dihasilkan (musyaa’) yang kadarnya ditentukan, sebagaimana yang telah kami jelaskan dibagian terdahulu. Akad al-Musaaqah tidak boleh kecuali terhadap pohon yang diketahui dengan jelas. Jika pohon yang menjadi sasaran menjadi sasaran al-Musaaqah tidak diketahui dengan jelas dan pasti, maka akad tidak sah.
3.    Pekerjaan dengan ketentuan yang jelas baik waktu, jenis, dan sifatnya. Pekerjaan hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih. Sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah bisa berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah seperti menyiram, merumput, dan mengawinkannya.
4.    Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau yang lainnya. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun) misalnya seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.
5.    Akad, yaitu ijab qabul baik berbentuk perkataan maupun tulisan
Menurut ulama Syafi’iyah, qabul di dalam akad al-Musaaqah harus diungkapkan secara lisan bagi orang yang bisa berbicara. Karena akad al-Musaaqah adalah akad yang berlaku laazim (mengikat) seperti ijarah dan yang lainnya. Adapun jika orang yang bersasngkutan adalah orang bisu, maka qabulnya boleh dengan menggunakan bahasa isyarat yang bisa dipahami, seperti dengan lewat tulisan.
d)                 Hukum-hukum Musaqah
Apabila akad Musaaqah telah memenuhi semua syarat-syaratnya, maka akad al-Musaaqah itu sah. Namun apabila ada salah satu ayarat yang tidak terpenuhi, maka akad al-Musaaqah itu berarti rusak atau tidak sah.[3]
1.    Hukum al-Musaqah yang sah
Alasan membolehkan Musaqah ini, yaitu apa yang diriwayatkan  Imam Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa:
“Pernah Rasulullah saw memberi (penduduk) khaibar sebagian daripada apa yang dihasilkan perkebunannya dari buah-buahan dan sayur-sayuran.”
Dan di dalam riwayat lain:
“Rasulullah saw telah menyerahkan kepada kaum Yahudi Khaibar pepohonan dan perkebunan Khaibar dengan syarat mereka mengerjakannya dengan harta mereka, dan diberikan setengah hasilnya kepada Rasulullah saw.”[4]
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sah adalah:
a.    Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b.    Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c.    Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d.   Akad adalah lazim dari kedua belah pihak.
e.    Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur.
f.      Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
g.    Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik.
Menurut ulama Malikiyah:
a.    Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan.
b.    Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi oleh penggarap. 
c.    Sesuatu yang berkaitan dengan buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.



2.    Hukum musaqah fasid (tidak sah)
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a.    Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b.    Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c.    Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d.    Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap.
e.    Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian.
f.     Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
g.    Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h.    Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
e)         Habis waktu Musaqah
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah dianggap selesai apabila:
a.    Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
b.    Meninggalnya salah seorang yang akad
c.    Membatalkan, baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sependapat dalam hal ini.
f)         Hikmah Musaqoh
1.    Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
2.    Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
3.    Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunya dapat terawat dan menghasilkan.
4.    Di samping itu, kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
2.      Muzara’ah
a)   Pengertian Muzara’ah
                 Kata, “al-Muzara’ah”, secara etimologi adalah bentuk mashdar (infinitif) dari asal kata, “az-Zar’u”, yang artinya adalah, al-inbaat (menanam, menumbuhkan).
     Sedangkan secara terminologi syara’ adalah sebuah akad pengolahan dan penanaman (lahan) dengan upah sebagian dari hasilnya.
Ulama Malikiyyah mendefinisikannya dengan persekutuan atau perjoinan (kerjasama) dalam mengolah dan menanami lahan.
Ulama Hanabilah mendefinisikannya seperti berikut, penyerahan suatu lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah dan menanaminya, sedangkan hasil tanamannya dibagi di antara mereka berdua (pemilik lahan dan pengolah).
Ada beberapa ulama’ yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Muzara’ah, diantaranya:
·      Menurut Hanabilah Muzara’ah ialah:
عَنْ يَدْفَعَ صَاحِبُ الأَرْضِ الصَّا لِحَةِ الْمُزَارَعَةِ أرْضَهُ لِلْعَامِلِ الَّذِىْ يَقَوْمُ يِزَرْعِهَا وض بَدْفَعُ لَهُ الْحُبَّ                                                                                                             
     “Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”
·      Menurut Dhahir Nash, As Syafi’I berpendapat bahwa Muzara’ah ialah :

اِكْتِرَاءَ الْعَامِلِ لِيَزْرَعَ الأَرْضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
 “ Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
·      Syaikh Ibrahim Al Bajuri berpendapat bahwa Muzara’ah ialah:

عَمَلُ الْعَا مِلِ فِى الأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْمَالِكَ
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik  tanah.”[5]
Dari beberapa definisi diatas, maka kesimpulannya bahwa muzara’ah adalah akad pemanfaatan dan penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan pihak yang menggarap tetapi bibitnya dari petani.[6]
b)Rukun-Rukun  dan Syarat-Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun Muzara’ah menurut Hanafiyah ada 4, yaitu:
1.    Tanah
2.    Perbuatan pekerja
3.    Modal
4.    Alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
a)    Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b)   Syarat yang bertalian dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
c)    Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
1.   Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
2.   Hasil adalah milik bersama.
3.   Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal itu tidak sah.
4.   Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
5.   Tidak disyaratkan bagi salah satu nya penambahan yang ma’lum.
d)   Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
v Tanah tersebut dapat ditanami
v Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.

e)    Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya:
|  Waktunya telah ditentukan
|  Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat)
|  Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
f)    Hal yang berkaitan dengan alat-alat Muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
       Sedangkan menurut Hanabilah, rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul, boleh dilakukan dengan lafadz apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan Kabul dan bahkan Muzara’ah  sah dilafadzkan dengan lafadz ijarah.[7]
c)      Dasar Hukum Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
“ sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِه وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَن ذَلِكَ
Artinya:  :
     Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Adapun maksud hadis tersebut adalah “apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.
d)     Hikmah Muzara’ah
1.      Supaya tanah yang semula tersia-siakan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
2.      Memberikan pekerjaan bagi orang-orang miskin yang menganggur untuk memelihara tanah dan tanaman-tanaman yang berada ditempat tersebut.
3.      Tanah yang terdapat tanaman-tanaman yang semula tidak bisa dipelihara oleh pemiliknya bisa terpelihara dengan baik.


e)      Berakhirnya akad Muzara’ah
Suatu akad Muzara’ah berakhir apabila:
1.      Meninggalnya salah satu pihak, namun dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika pemilik lahan meninggal dunia sementara tanamannya masih hijau, maka penggarap harus terus bekerja sampai tanaman itu matang. Ahli waris dari yang meninggal tidak berhak melarang orang itu untuk berbuat demikian. Jika penggarapnya yang meninggal dunia, maka ahli warisnya menggantikannya, dan bila ia mau boleh meneruskan kerja mengolah tanah sampai tanaman itu matang, dan pemilik lahan tidak melarangnya.
2.      Jangka waktu yang disepakati berakhir. Jika dalam menyewa tanah berada dalam tahun (waktu dalam tahun tersebut) yang dimungkinkan adanya panen maka diperbolehkan. Hal ini untuk menghindari waktu habis dan panen belum tiba.
3.       Jika banjir merusak dan melanda tanah sewa sehingga kondisi tanah dan tanaman rusak maka perjanjian berakhir.
4.       Ketika waktu berakhir maka pemilik dilarang mencabut tanaman sampai pembayaran diberikan dan hasil panen dihitung.
5.      Maka solusi untuk menghindari kemungkinan berakhirnya akad muzara’ah terutama yang disebabkan oleh kondisi alam, yaitu dilakukan dengan cara memperhatikan keadaan tanah, apakah tanah tersebut gembur ataukah keras. Kira-kira jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam dalam kondisi tanah seperti tersebut. Kemudian harus memperhatikan cuaca atau musim.
3. Mukhabarah
a)        Pengertian Mukhabarah
              Mukhabarah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang telah disepakati.
Menurut ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”
b)        Dasar hukum Mukhabarah
       Dasar hukum mukhabarah merupakan sama dengan hukum Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
“ sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِه وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَن ذَلِكَ
Artinya:  :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Ra
sulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Adapun maksud hadis tersebut adalah “apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.
c)         Rukun dan Syarat Mukhabarah
a.    Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
·      Pemilik tanah
·      Petani/Penggarap
·      Obyek mukhabarah
·      Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
b.    Syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
·      Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
·      Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
·      Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya, dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
·      Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
·      Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
d)            Adapun hikmah Mukhabarah antara lain:
a.    Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b.    Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c.    Tertanggulanginya kemiskinan.
d.   Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
4.      Syuf’ah
       a. Pengertian Syuf’ah
Asy-Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.[8]
Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. Berbeda dengan para ulama menafsirkan al-syuf’ah  adalah sebagai berikut :
1.    Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah :
“Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”
2.    Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i sebagai pengganti dan pembeli denan membayar harga brang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.
Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa as-syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan.
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ فَهُوَ اَحَقُّ بِه
“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual tersebut”.[9]
  1. Landasan Hukum Al- Syuf’ah       
Pengambilan Masyfuu’fihi oleh Syafii’statusnya adalah seperti pembelian yang baru. Ulama Hanafiyyah mengatakan, hukum Syuf’ah adalah boleh jika memang sebabnya terpenuhi, meskipun setelah beberapa tahun berlalu, yakni jika memang Syafi’ tidak mengetahuinya. [10]
  1. Rukun-Rukun Syuf’ah
ü Barang yang diambil (sebagian yang sudah diambil), syaratnya keadaan barang tidak bergerak. Adapun barang yang bergerak berarti dapat dipindahkan, dan tidak berlaku padanya Syuf’ah, melainkan dengan jalan mengikuti kepada yang tidak bergerak.
ü Orang yang mengambil barang (partner lama); disyari’atkan keadaannya orang yang tidak bersyari’at pada zat yang diambil, dan memiliki akan bagiannya. Maka tetangga tidak berhak mengambil Syuf’ah menurut madzhab Syafi’i, begitu juga yang bersyari’at pada manfaat, dan orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
ü Yang dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.
Syarat-syarat Asy Syuf’ah
*      Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah dan yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu-pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.
                                  Berdalil kepada hadits dari Jabir r.a.:                                                                        قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ : رُبْعَةٍ  أَوْحَائِط.
Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan) yang tidak dapat dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.

Dari Jabir r.a., berkata:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ ماَلَمْ يُقْسَم,              فَإِذاَوَقَعَةِالْحُدُوْدُوَصُرِّفَتِّ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ (رواه الخمسة)
                                        
Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis yang belum dibagi/dipecah. Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah jelas, maka tidak ada lagi Syuf’ah”. Riwayat Al-Khamsah.
      Artinya bahwa Syuf’ah yang berlaku untuk semua jenis barang Musytarak (bersama) yang menjadi milik telah dilakukan diantara keduanya, maka tidak ada lagi Syuf’ah.[11]
                       Adapun cara melakukan syuf’ah dengan syarat – syarat sebagai berikut :
ü Syuf’ah haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artinya bahwa syaafi’ hendak melakukan syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.
ü Adapun kadar ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak boleh kurang.
  1.  Pewarisan Al-Syuf’ah
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia sebelum hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta benda.
Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit menuntutnya”. Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah, kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.









C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Musaqah adalah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya diwaktu akad.
Muzara’ah adalah akad pemanfaatan dan penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan pihak yang menggarap tetapi bibitnya dari petani
Mukhabarah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang telah disepakati.
Syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah).
2.      Saran
Penulis merasa bahwa perlu kiranya masyarakat memahami hukum hukum Islam dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya. Seperti Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah, dan Syuf’ah. Sehingga mereka tidak keliru dalam bertindak dan kegiatan mereka menjadi barokah di dunia maupun di akhirat.
Penulis juga merasa bahwa teman teman sekalian khusunya teman teman Hukum Bisnis Syariah dapat menerapkan aturan ini dalam kegiatan sehari hari karena telah banyak belajar mengenai syariat syariat islam.




DAFTAR PUSTAKA
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur Rokhman, Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.
Mughniyah, Muhammad Jawad Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta;Penerbit Lentera, 2009.
Az-Zuhaili ,Wahbah, Fiqih Islam wa adillatuhu Jilid 6,Jakarta;Gema Insani, 201.
Abubakar,Imam Taqiyuddin ibn Muhammad Ahusaini, khifayatul akhyar, Surabaya: Bina Iman,2007.
Suhendi ,Hendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta;PT. Raja Grafindo,2010.
Hajar ,Al-asqalani al-hafidz ibnu,bulughul maram, Surabaya: Mutiara Ilmu,2011.



[1] Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur Rokhman, Jakarta, Pustaka Azzam, hlm: 483
[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta;Penerbit Lentera,2009), Hlm.605.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu Jilid 6,(Jakarta;Gema Insani, 2011), hlm. 581-587.
[4] Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Ahusaini, khifayatul akhyar, (Surabaya: Bina Iman,2007 ), hlm. 689
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah,(Jakarta;PT. Raja Grafindo,2010),Hlm: 153-155.
[6] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu…,…,hlm. 563.

[7] Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah,…,Hlm: 158-159.

[8]Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Kairo: Dar al-fiqr: 1997), hlm 45.
[9] Al-asqalani al-hafidz ibnu hajar,bulughul maram,(surabaya: mutiara ilmu,2011). Hlm.406.
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu…,…,hlm. 758.
[11] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu…,…,Hlm. 758.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar