PENCATATAN
PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH (PERSPEKTIF GENDER)
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dosen
Pengampu: Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.Si
Disusun oleh:
Ubaydillah Nurrahman (14220017)
Eka Tistiana Hartanti (14220018)
Yuni Nasrul Latifi (14220019)
JURUSAN
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia
dan hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat
terselesaikan.
Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang dengan mana kita dapat meniru suri tauladan beliau sehingga kita dapat
membuat makalah ini.
Tugas karya tulis yang diberi judul “Pencatatan perkawinan
dan akta nikah”
ini ialah suatu karya tulis yang terbentuk dari hasil
kerja sama kelompok, dimana tugas ini merupakan persyaratan dari aspek
penilaian matakuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dengan
tersusunnya makalah ini kami berharap para pembaca dapat memahami isi makalah
ini dan berminat untuk membacanya dan kami berharap makalah ini dapat berguna
untuk kita semua.
Penyusun karya tulis ini tak
lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Bapak Dr. Ahmad
Zaenal Fanani, S.HI., M.Si selaku dosen pengajar mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia.
2.
Semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, baik selama
penyusunan tugas ini maupun di luar itu.
Semoga Allah SWT selalu
mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua, amin.
Akhir kata, kami mengucapkan
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini dan kami memastikan
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami
minta saran dan kritiknya.
Harapan
penulis, semoga penulis tugas karya tulis ini dapat diambil manfaatnya oleh
pembaca.
Tim Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman
judul................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................... ii
Daftar
Isi............................................................................................. iii
BAB I. Pendahuluan.................................................................................... 1
A. Latar Belakang……………………………………. 1
B. Rumusan
Masalah………………………………… 1
C. Tujuan…………………………………………….. 2
BAB
II.Pembahasan………………………………………………………. 3
A.
Pencatatan Perkawinan……….……………………. 3
B.
Akta Nikah……..………………………………….. 7
C.
Analisa Akibat Hukum Nikah tidak
Tercatat
ditinjau dari Perspektif Gender….... 11
BAB
III. Penutup……………………………………………………… 14
A. Kesimpulan………………………………………… 14
B. Saran………………………………………………… 15
Daftar
Pustaka.................................................................................................. iv
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting
dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga
dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami
istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus
generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk
membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia,maka diperlukan perkawinan. Tidak
ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan
yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami
istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang
melaksanakan pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan
diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis
tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.Yang menjadi masalah waktu
itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam.Bagi mereka tidak ada
aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang
tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad nikah
perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah diresiplir
dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh Hurgronye.
Setelah Indonesia merdeka, usaha
mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat
Penetapan Mentri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia
Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk
yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
Dari sinilah pemakalah akan
mmembahas hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan dan akte perkawinan yang
selanjutnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.
B. Rumusan
Masalah
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini
terarah, maka kami merumuskan masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai
berikut:
1.
Apa yang dimaksud pencatatan perkawinan dan
akta nikah?
2.
Apa akibat hukum dari perkawinan tidak tercatat
ditinjau dari perspektif gender?
C.
Tujuan
Penulisan
Untuk mempermudah tercapainya arah serta
sasaran yang diharapkan, maka kami merumuskan beberapa tujuan yang hendak
dicapai, diantaranya:
1.
Untuk mendiskripsikan pencatatan perkawinan dan
akta nikah.
2.
Untuk menjelaskan akibat hukum dari perkawinan
tidak tercatat ditinjau dari perspektif gender.
PEMBAHASAN
A.
Percatatan
Perkawinan
Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau
al-Sunnah tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan.
Ini berbeda dengan muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara
tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan
perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di
Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam
masyarakat.[1]
Al-Quran dan al-Hadis tidak
mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh
masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui
perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui
Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan
hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek
hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan
Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinanya. Akta
tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa
dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.[2]
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama
sekali, karena perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung
hubungan keperdataan. Ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum nomor 2 (dua)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi
berbagai golongan warga negaranya dan berbagai daerah seperti berikut:
1.
Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama
Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.
2.
Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku
Hukum Adat.
3.
Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama
Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (Stbl. 19 Nomor
74).
4.
Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara
Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dengan sedikit perubahan.
5.
Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga
Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat
mereka.
6.
Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara
Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.[3]
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 merupakan era
baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum
perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai
eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar bila ada
pendapat yang mengungkapkan bahwa undang-undang perkawinan merupakan ajal
teori yang dipelopori oleh Cristian Snouck Hourgronje. Pencatatan perkawinan
seperti diatur dalam pasal 2 ayat 2 meskipun telah disosialisasikan selama 26
tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini
perlu dilakukan oleh umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik
Indonesia.[4]
Berdasarkan kendala di atas, sebagai akibat
adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat Islam
Indonesia. Menurut paham mereka, pernikahan dianggap cukup apabila syarat dan
rukunya sudah dipenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi
seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan
dibawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada
calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak mempunyai
Akta Nikah). Belum lagi, apabila ada oknum yang memanfaatkan “peluang” ini,
untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai
keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar
tanpa izin istri pertama, atau tanpa izin Pengadilan Agama. Kenyataan dalam
masyarakat seperti ini merupakan hambatan suksesnya pelaksanaan undang-undang
perkawinan pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam.[5]
Pengungkapan kenyataan semacam ini dimaksud
agar semua pihak dapat lebih mengerti dan menyadari betapa penting nilai
keadilan dan ketertiban dalam sebuah perkawinan yang menjadi pilar tegaknya
kehidupan rumah tangga. Faktor-faktor yang memengaruhi, boleh jadi karena
keterdesakan situasi, sementara tuntutan untuk menghindari akibat negatif yang
lebih besar, sangat mendesak.[6]
Akan halnya tentang pencatatan perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya dalam
Pasal 5:
1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2)
Pencatatan pernikahan tersebut, pada ayat (1)
dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam
Pasal 6 yang berbunyi:
1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatatan Nikah.
2)
Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan
Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[7]
Memerhatikan ketetuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan
tersebut adalah syarat administratif. Artinya perkawinan tetap sah, karena
standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena
tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang
timbul adalah, apabia salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain
tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah
dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan
demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.[8]
Secara lebih rinci, Perturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang pencatatan
perkawinan:
1.
Pencatat perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat, sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.
Pencatatan Perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.
3.
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 9 PP ini.[9]
Lembaga pencatatan perkawinan merupakan
syarat administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan
kelangsungan suatu perkawinan. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan
perkawinan, yakni manfaat preventif dan manfaat represif.[10]
Manfaat preventif, yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya itu,
maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkretnya, penyimpangan tadi
dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975:
1.
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tepat perkawinan akan
dilangsungkan.
2.
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.
Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat
(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah.[11]
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Di
negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat
perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang
dimaksud adalah :
a.
Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi
orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
b.
Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang
tunduk kepada :
1)
Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang peraturan catatan
sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
2)
Stb. 1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut ketentuan
Stb. 1849. Nomor 25 yaitu tentang pencatatan sipil Eropa.
3)
Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan
Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang peraturan pencatatan sipil
campuran.
4)
Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Stb.
1904 Nomor 279.
5)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang kristen di
Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB dan NTT, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian
Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas,
pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan dikantor catatan sipil
berdasarkan ketentuan pasal 3-9 peraturan ini.[12]
Kantor Urusan Agama (KUA)
kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan diwilayah
masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan inidapat dikenakan sanksi kepada
petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan pencatat perkawinan
ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR[13].
B.
Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan
antara pihak pria dan wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian
kesepakatan itu, diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatatan Nikah dan tidak ada
keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat
dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal
10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai berikut:
1)
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh
sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang
dimaksud pasal 8 PP ini.
2)
Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
3)
Dengan mengindahkan tata cara perkawinan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan
dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.[14]
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua
belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinanya dan telah
diisi mengenai hal-hal yang diperlukanya, seperti diatur dalam pasal 12
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang
harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut.
1)
Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan,
pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2)
Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman
orang tua mereka.
3)
Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Perkawinan.
4)
Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
5)
Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.
6)
Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
7)
Izin pejabat yang ditunjuk oleh
Menhamkam/Pangab bagi Angkatan Bersenjata.
8)
Perjanjian perkawinan apabila ada.
9)
Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan
tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10)
Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan
tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.[15]
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan
naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan
talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia
terhadap istrinya.Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta
Nikah dan salinanaya yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai
Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang
mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta
Nikah dan salinanaya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normative
berdasarkan pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum
berdasarkan pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.[16]
Akta Nikah menjadi bukti autentik dari suatu
pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah
seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Sebagai
contoh, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibanya,
sementara kenyataanya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang
telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan
gugatan perkaranya ke Pengadilan.Selain itu, Akta Nikah juga juga berfungsi
untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta
dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian,
pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai Pegawai Pencatat Nikah.[17]
Apabila suatu kehidupan suami istri belangsung
tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka
kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan
nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan
hukum dalam ikatan perkawinanya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai
berikut.
2)
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3)
Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan
Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian;
b.
Hilangnya Akta Nikah;
c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawinan;
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[18]
Permohonan isbat nikah di atas, menurut pasal 7
ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak mengajukan
permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan
pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan
sesuatu yang penting. Berdasarkan Firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 282,
para pemikir hukum Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan
dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap
bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkambangan ilmu hukum
saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan
dengan kaidah fikih yang mengungkapkan Darul mafasidu muqaddamun ala jalabil
mashalih. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur
tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan
tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum
(mashlahatul mursalah) di Negara Republik Indonesia.[19]
Melalui kajian ini dapat dipahami bahwa
pencatatan pernikahan dan Akta Nikahnya merupakan ketentuan yang perlu diterima
dan dilaksanakan oleh pendududuk yang mendiami wilayah Negara
Indonesia.Pemikiran itu didasari oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari
ayat Alquran yang berkaitan dengan muamalah (Surah Albaqoroh (2) ayat 282) dan
mashlahat mursalah dan perwujudan kemashlahatan.[20]
Sejalan dengan
perkembangna zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali
perubahan-perubahan yang terus terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral)
kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta,
sebagai bukti autentik pernikahan. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan
tidak saja karena kematian, manusia bisa mengalami lupa dan khilaf. Atas
dasar ini diperlukan sebuah bukti tertulis untuk dijadikan bukti perbnikahan. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Hal ini
disebut dengan pembaharuan karena tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqih
klassik ataupun fatwa ulama. [21]
Adapun perturan pencatatan
dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Adapun tata cara
pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 3 yang
berbunyi:
1)
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberikan kehendaknya
kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan
2)
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan
3)
Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Dae
C.
Analisa Akibat
Hukum Nikah Tidak Tercatat Ditinjau dari Perspektif Gender
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah.
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan
menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita
tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan
aspek kesetaraan gender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang
tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena
dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pernikahan apa pun selain yang
tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.
Permasalahannya yaitu jika perkawinan harus
tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki
istri, karena untuk poligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan.
Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan
secara materiil yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan
kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap
dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria,
di lain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.
Perkawinan tidak tercatat tidak memiliki
kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka suami tidak terikat
secara hukum untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang harus
memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, serta kewajiban kewajiban lainnya,
seperti melindungi istri, memberikan segala keperluan hidup berumah tangga,
menanggung biaya pemeliharaan kesehatan bagi istri dan anak, biaya pendidikan
bagi anak-anaknya, serta menyediakan tempat tinggal yang layak (Kompilasi Hukum
Islam Pasal 80, 81). Tidak adanya keterikatan pada hukum ini, menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan suami begitu mudah mengabaikan kewajibannya
terhadap istri dan anak-anak.
Perkawinan yang tidak tercatat
berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anak. Bagi istri, dampaknya
secara hukum adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki
bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas nafkah
dan warisan suami jika ia meninggal dunia; istri tidak berhak atas harta
gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah terjadi. Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak
yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Di dalam akta kelahirannya
akan dicantumkan "anak luar nikah". Konsekuensinya, anak hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya (ps. 42 dan 43 UUP). Tentu saja pencantuman anak
luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan
ibunya. Tambahan lagi bahwa ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan
anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari
ayahnya. Selain berdampak hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak
sosial yang buruk bagi perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit
bersosialisasi di masyarakat karena dianggap sebagai istri simpanan atau
melakukan kumpul kebo (tinggal serumah tanpa menikah).
Perkawinan tidak tercatat, banyak menimbulkan
kerugian bagi perempuan dan anak-anak. Karena mereka tidak mendapat
perlindungan hukum, jika suami ingkar dari kewajibannya, maka istri juga tidak
dapat menggugat suami di Pengadilan Agama untuk bercerai maupun memberikan
nafkah. Karena istri tidak mempunyai akta nikah yang dapat membuktikan telah
terjadinya pernikahan yang sah menurut hukum, secara tegas disebutkan dalam
Pasal 7 ayat (1) Komplasi Hukum Islam bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Berdasarkan hal itu maka
ditinjau dari perspektif gender, perkawinan tidak tercatat sangat tidak sesuai
dengan kesetaraan gender.
Dengan demikian kerugian perkawinan
tidak tercatat sebagai berikut:
1.
Pertama, tidak memiliki akta nikah. Jika
bepergian kemudian menginap di hotel misalnya tidak menutup kemungkinan terkena
razia. Karena dianggap bukan sebagai suami istri. Polisi hanya percaya manakala
pasangan pria wanita tersebut dapat memperlihatkan akta nikah. Tentu saja jika
ini terjadi sangat memalukan.
2.
Kedua,
ketika anak lahir akan sulit mendapat akta kelahiran juga akan menjadi masalah
ketika membuat Kartu Tanda Penduduk.
3.
Ketiga,
apabila salah satu pasangan suami istri itu meninggal dunia, dalam hal ini
misalnya pihak suami, maka anak tidak memiliki hubungan hukum dengan bapakknya
melainkan hanya pada ibunya. Anak tidak memperoleh warisan dari bapaknya.
4.
Keempat,
apabila terjadi cerai hidup, maka iastri kehilangan hak untuk menuntut harta
bersama atau waris.
5.
Kelima,
kapan waktu saja suami dapat menikah lagi pada wanita lain tanpa dapat dituntut
oleh istri yang pernikahannya tidak tercatat.
Di samping penjelasan di atas
sebenarnya dari perspektif gender, pernikahan tidak tercatat juga berdampak
negatif bagi suami manakala semisal istrinya meninggal sedangkan istrinya
seorang pekerja yang mempunyai gaji tinggi, maka suaminya tidak mendapatkan
harta dari istri yang meninggal tadi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau
al-Sunnah tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan.
Ini berbeda dengan muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara
tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan
perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di
Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam
masyarakat
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya
untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi
pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri
dan suami salinanya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak
bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk
mendapatkan haknya
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan
naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan
talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia
terhadap istrinya.Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta
Nikah dan salinanaya yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai
Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang
mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta
Nikah dan salinanaya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normative
berdasarkan pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum
berdasarkan pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Analisa Akibat Hukum Nikah Tidak Tercatat
Ditinjau dari Perspektif Gender bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki akibat
hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak
tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan
perempuan dalam posisi yang rendah.
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan
menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita
tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan
aspek kesetaraan gender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang
tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena
dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pernikahan apa pun selain yang
tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.
SARAN
Setelah
mengetahui betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan akta nikah, maka
hendaknya kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari agar tidak ada pihak
yang merasa dirugikan dengan adanya perkawinan tersebut dan untuk menanggulangi
masalah masalah yang ditimbulkan akibat adanya perkawinan yang tidak tercatat.
[1]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013, hlm. 91.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2007, hlm. 26.
[3] Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 92.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam…, hlm.
27
[5] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
27
[6] Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 93.
[7] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
27
[8]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 93-94.
[9]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 94.
[10]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 94.
[11]
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 95.
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
[14] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
28.
[15] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
28.
[16] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
29.
[17] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
29.
[18] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
29.
[19] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
30.
[20] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm.
30.
[21] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2004, hlm 122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar