Senin, 23 November 2015

PENCATATAN PERKAWINAN & AKTA NIKAH

PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH (PERSPEKTIF GENDER)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.Si


                                                                             
Disusun oleh:
Ubaydillah Nurrahman (14220017)
Eka Tistiana Hartanti (14220018)
Yuni Nasrul Latifi (14220019)



JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
KATA PENGANTAR


             Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat terselesaikan.
               Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang dengan mana kita dapat meniru suri tauladan beliau sehingga kita dapat membuat makalah ini.
Tugas karya tulis yang diberi judul Pencatatan perkawinan dan akta nikahini ialah suatu karya tulis yang terbentuk dari hasil kerja sama kelompok, dimana tugas ini merupakan persyaratan dari aspek penilaian matakuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia
               Dengan tersusunnya makalah ini kami berharap para pembaca dapat memahami isi makalah ini dan berminat untuk membacanya dan kami berharap makalah ini dapat berguna untuk kita semua.
                 Penyusun karya tulis ini tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :   
1.    Bapak Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.Si selaku dosen pengajar mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia.
2.    Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, baik selama penyusunan tugas ini maupun di luar itu.
               Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua, amin.
              Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam  menyelesaikan makalah ini dan kami memastikan bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami minta saran dan kritiknya.
Harapan penulis, semoga penulis tugas karya tulis ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.


 Tim Penulis,



DAFTAR ISI

                Halaman

Halaman judul...................................................................................                        i
Kata Pengantar....................................................................................                       ii
Daftar Isi.............................................................................................                        iii

BAB I. Pendahuluan....................................................................................              1
                      A.          Latar Belakang…………………………………….               1
                      B.          Rumusan Masalah…………………………………               1
                      C.          Tujuan……………………………………………..               2
BAB II.Pembahasan……………………………………………………….              3
A.                      Pencatatan Perkawinan……….…………………….             3
B.                      Akta Nikah……..…………………………………..             7
C.                      Analisa Akibat Hukum Nikah tidak
               Tercatat ditinjau dari Perspektif Gender…....                       11
BAB III. Penutup………………………………………………………                   14
                      A.          Kesimpulan…………………………………………             14
                      B.          Saran…………………………………………………           15

Daftar Pustaka..................................................................................................           iv







PENDAHULUAN 
A.  Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia,maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam.Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad nikah perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah diresiplir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh Hurgronye.
Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
Dari sinilah pemakalah akan mmembahas hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan dan akte perkawinan yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.

B.    Rumusan Masalah
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud pencatatan perkawinan dan akta nikah?
2.      Apa akibat hukum dari perkawinan tidak tercatat ditinjau dari perspektif gender?

C.       Tujuan Penulisan
Untuk mempermudah tercapainya arah serta sasaran yang diharapkan, maka kami merumuskan beberapa tujuan yang hendak dicapai, diantaranya:
1.      Untuk mendiskripsikan pencatatan perkawinan dan akta nikah.
2.      Untuk menjelaskan akibat hukum dari perkawinan tidak tercatat ditinjau dari perspektif gender.
  
 PEMBAHASAN
A.      Percatatan Perkawinan
Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.[1]
Al-Quran dan al-Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinanya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.[2]
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hubungan keperdataan. Ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum nomor 2 (dua) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negaranya dan berbagai daerah seperti berikut:
1.        Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.
2.        Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat.
3.        Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (Stbl. 19 Nomor 74).
4.        Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
5.        Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
6.        Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[3]
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar bila ada pendapat yang mengungkapkan  bahwa undang-undang perkawinan merupakan ajal teori yang dipelopori oleh Cristian Snouck Hourgronje. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat 2 meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini perlu dilakukan oleh umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik Indonesia.[4]
Berdasarkan kendala di atas, sebagai akibat adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, pernikahan dianggap cukup apabila syarat dan rukunya sudah dipenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan dibawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah). Belum lagi, apabila ada oknum yang memanfaatkan “peluang” ini, untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa izin istri pertama, atau tanpa izin Pengadilan Agama. Kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan suksesnya pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam.[5]
Pengungkapan kenyataan semacam ini dimaksud agar semua pihak dapat lebih mengerti dan menyadari betapa penting nilai keadilan dan ketertiban dalam sebuah perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah tangga. Faktor-faktor yang memengaruhi, boleh jadi karena keterdesakan situasi, sementara tuntutan untuk menghindari akibat negatif yang lebih besar, sangat mendesak.[6]
Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya dalam  Pasal 5:
1)                 Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2)                 Pencatatan pernikahan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun  1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam Pasal 6 yang berbunyi:
1)                 Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah.
2)                 Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[7]

          Memerhatikan ketetuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat administratif. Artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah, apabia salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.[8]
          Secara lebih rinci, Perturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang pencatatan perkawinan:
1.    Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.    Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
3.    Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 PP ini.[9]
     Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan, yakni manfaat preventif dan manfaat represif.[10]
     Manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkretnya, penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975:
1.    Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tepat perkawinan akan dilangsungkan.
2.    Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.    Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.[11]
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a.       Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
b.      Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada :
1)   Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang peraturan catatan sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
2)   Stb. 1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849. Nomor 25 yaitu tentang pencatatan sipil Eropa.
3)   Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang peraturan pencatatan sipil campuran.
4)   Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279.
5)   Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB dan NTT, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan dikantor catatan sipil berdasarkan ketentuan pasal 3-9 peraturan ini.[12]
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan diwilayah masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan inidapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR[13].
B.       Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatatan Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai berikut:
1)        Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud pasal 8 PP ini.
2)        Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
3)        Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.[14]
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinanya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukanya, seperti diatur dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut.
1)        Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2)        Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3)        Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Perkawinan.
4)        Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
5)        Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.
6)        Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
7)        Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhamkam/Pangab bagi Angkatan Bersenjata.
8)        Perjanjian perkawinan apabila ada.
9)        Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10)    Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.[15]
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinanaya yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinanaya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normative berdasarkan pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.[16]
Akta Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Sebagai contoh, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibanya, sementara kenyataanya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan.Selain itu, Akta Nikah juga juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai Pegawai Pencatat Nikah.[17]
Apabila suatu kehidupan suami istri belangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinanya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut.
2)      Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3)      Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.    Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.    Hilangnya Akta Nikah;
c.    Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.   Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e.    Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[18]
Permohonan isbat nikah di atas, menurut pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting. Berdasarkan Firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 282, para pemikir hukum Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkambangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fikih yang mengungkapkan Darul mafasidu muqaddamun ala jalabil mashalih. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahatul mursalah) di Negara Republik Indonesia.[19]
Melalui kajian ini dapat dipahami bahwa pencatatan pernikahan dan Akta Nikahnya merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh pendududuk yang mendiami wilayah Negara Indonesia.Pemikiran itu didasari oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat Alquran yang berkaitan dengan muamalah (Surah Albaqoroh (2) ayat 282) dan mashlahat mursalah dan perwujudan kemashlahatan.[20]
Sejalan dengan perkembangna zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terus terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, sebagai bukti autentik pernikahan. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak  saja karena kematian, manusia bisa mengalami lupa dan khilaf. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti tertulis untuk dijadikan bukti perbnikahan. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Hal ini disebut dengan pembaharuan karena tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqih klassik ataupun fatwa ulama. [21]
Adapun perturan pencatatan dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Adapun tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 3 yang berbunyi:
1)        Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberikan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan
2)        Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan
3)        Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Dae
C.      Analisa Akibat Hukum Nikah Tidak Tercatat Ditinjau dari Perspektif Gender
     Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah.
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan gender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.
 Permasalahannya yaitu jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan secara materiil yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.
Perkawinan tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka suami tidak terikat secara hukum untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang harus memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, serta kewajiban kewajiban lainnya, seperti melindungi istri, memberikan segala keperluan hidup berumah tangga, menanggung biaya pemeliharaan kesehatan bagi istri dan anak, biaya pendidikan bagi anak-anaknya, serta menyediakan tempat tinggal yang layak (Kompilasi Hukum Islam Pasal 80, 81). Tidak adanya keterikatan pada hukum ini, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suami begitu mudah mengabaikan kewajibannya terhadap istri dan anak-anak.
Perkawinan yang tidak tercatat berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anak. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan suami jika ia meninggal dunia; istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Di dalam akta kelahirannya akan dicantumkan "anak luar nikah". Konsekuensinya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (ps. 42 dan 43 UUP). Tentu saja pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Tambahan lagi bahwa ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya. Selain berdampak hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak sosial yang buruk bagi perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit bersosialisasi di masyarakat karena dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan kumpul kebo (tinggal serumah tanpa menikah).
Perkawinan tidak tercatat, banyak menimbulkan kerugian bagi perempuan dan anak-anak. Karena mereka tidak mendapat perlindungan hukum, jika suami ingkar dari kewajibannya, maka istri juga tidak dapat menggugat suami di Pengadilan Agama untuk bercerai maupun memberikan nafkah. Karena istri tidak mempunyai akta nikah yang dapat membuktikan telah terjadinya pernikahan yang sah menurut hukum, secara tegas disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Komplasi Hukum Islam bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Berdasarkan hal itu maka ditinjau dari perspektif gender, perkawinan tidak tercatat sangat tidak sesuai dengan kesetaraan gender.
Dengan demikian kerugian perkawinan tidak tercatat sebagai berikut:
1.     Pertama, tidak memiliki akta nikah. Jika bepergian kemudian menginap di hotel misalnya tidak menutup kemungkinan terkena razia. Karena dianggap bukan sebagai suami istri. Polisi hanya percaya manakala pasangan pria wanita tersebut dapat memperlihatkan akta nikah. Tentu saja jika ini terjadi sangat memalukan.
2.    Kedua, ketika anak lahir akan sulit mendapat akta kelahiran juga akan menjadi masalah ketika membuat Kartu Tanda Penduduk.
3.    Ketiga, apabila salah satu pasangan suami istri itu meninggal dunia, dalam hal ini misalnya pihak suami, maka anak tidak memiliki hubungan hukum dengan bapakknya melainkan hanya pada ibunya. Anak tidak memperoleh warisan dari bapaknya.
4.    Keempat, apabila terjadi cerai hidup, maka iastri kehilangan hak untuk menuntut harta bersama atau waris.
5.    Kelima, kapan waktu saja suami dapat menikah lagi pada wanita lain tanpa dapat dituntut oleh istri yang pernikahannya tidak tercatat.
Di samping penjelasan di atas sebenarnya dari perspektif gender, pernikahan tidak tercatat juga berdampak negatif bagi suami manakala semisal istrinya meninggal sedangkan istrinya seorang pekerja yang mempunyai gaji tinggi, maka suaminya tidak mendapatkan harta dari istri yang meninggal tadi.
PENUTUP
           KESIMPULAN
Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinanya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinanaya yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinanaya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normative berdasarkan pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Analisa Akibat Hukum Nikah Tidak Tercatat Ditinjau dari Perspektif Gender bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah.
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan gender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.

 SARAN
Setelah mengetahui betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan akta nikah, maka hendaknya kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya perkawinan tersebut dan untuk menanggulangi masalah masalah yang ditimbulkan akibat adanya perkawinan yang tidak tercatat.




[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 91.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2007, hlm. 26.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 92.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam…, hlm. 27
[5] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 27
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 93.
[7] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 27
[8] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 93-94.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 94.
[10] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 94.
[11] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 95.
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
[13] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam,…, hlm.14-15.
[14] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 28.
[15] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 28.
[16] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 29.
[17] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 29.
[18] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 29.
[19] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 30.
[20] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 30.
[21] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004, hlm 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar